Patroli Menteng: Warga Kolong Tetap Bertahan

Erlita Irmania
0

Menghadapi Kenyataan Hidup di Pinggiran: Kisah Warga Kolong Jakarta yang Bertahan di Trotoar dan Tepi Rel

Di jantung kota metropolitan Jakarta, tersembunyi realitas kehidupan yang seringkali luput dari perhatian. Di bawah jembatan layang, di sepanjang trotoar sempit, dan di tepi rel kereta api yang tak pernah sunyi, sekelompok masyarakat yang dikenal sebagai "warga kolong" berjuang untuk sekadar bertahan hidup. Mereka adalah individu dan keluarga yang terpaksa menjadikan ruang-ruang publik ini sebagai tempat tinggal, menghadapi penertiban aparat berulang kali namun tetap kembali, terikat oleh keterbatasan ekonomi dan minimnya alternatif hunian layak.

Patroli Rutin dan Upaya Penjangkauan

Pemerintah daerah, melalui Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), terus berupaya memantau dan menertibkan keberadaan warga kolong. Kepala Satpol PP Jakarta Selatan, Nanto Dwi Subekti, menjelaskan bahwa pihaknya melakukan patroli rutin sebagai langkah awal penjangkauan. "Saat ini kita hanya penjangkauan atau patroli rutin. Kalau ada yang bandel baru kita lakukan penertiban. Kalau kedapatan saat operasi Pemberantasan Pekerja Sosisal (PMKS), kita kirim ke panti sosial," ujar Nanto. Pendekatan yang dilakukan bersifat humanis dan disesuaikan dengan kondisi lapangan, dengan patroli yang dilaksanakan setiap hari. Hingga kini, menurut Nanto, belum ada hambatan signifikan dalam pelaksanaan patroli, selain keharusan untuk terus giat berpatroli.

Kebiasaan yang Terbentuk di Lingkungan Sekitar

Bagi warga sekitar, keberadaan warga kolong bukanlah pemandangan baru. Ningsih (45), pemilik warung kecil di dekat lintasan rel Jalan Guntur, mengungkapkan bahwa aktivitas mereka sudah menjadi bagian dari keseharian. "Mereka pergi sebentar saat razia, tapi begitu patroli selesai, biasanya balik lagi ke kolong atau trotoar. Kami sudah terbiasa melihat itu," tuturnya.

Sementara itu, Riyan (31), seorang pengemudi ojek pangkalan yang mangkal tak jauh dari lokasi tersebut, merasa iba melihat kondisi mereka. "Kasihan sih, tapi hidup di Jakarta memang harus siap punya duit buat tempat tinggal. Kalau tidak ada alternatif, ya mereka kembali ke trotoar atau kolong. Mereka sudah biasa hidup di jalan," ucapnya.

Alasan Bertahan di Tengah Keterbatasan

Meskipun berulang kali didatangi aparat, sejumlah warga kolong tetap memilih untuk bertahan di trotoar dan tepi rel. Ale (40), seorang pria asal Bogor, Jawa Barat, telah hampir dua tahun menetap di tepi rel dekat Jalan Latuharhary. "Awalnya cuma numpang lewat, nyari barang bekas. Lama-lama susah, jadi bertahan di sini saja. Uang enggak cukup buat kontrakan. Mau ke mana kalau pergi jauh?" keluhnya. Sehari-hari, Ale mengais rezeki dengan mengumpulkan botol plastik dan kardus bekas dari perkantoran dan pasar untuk dijual kembali. Pendapatannya bervariasi, mulai dari Rp 7.000 hingga Rp 15.000 per gerobak, tergantung keramaian.

Pengalaman serupa diungkapkan oleh Sukinem (38), seorang perempuan asal Brebes, Jawa Tengah. "Kadang pagi-pagi Satpol PP datang, suruh bubar. Saya ngerti, tapi mau pindah ke mana? Gerobak berat, barang banyak. Setelah mereka pergi, kami balik lagi," jelasnya.

Sarwono (42), yang tinggal bersama istri dan anaknya di pertigaan dekat Kantor Komnas HAM, memilih lokasi tersebut karena dianggap relatif aman. "Tempat ini agak aman, lampunya terang, dekat kantor pemerintah. Kalau malam tetap waspada, tapi di sini dekat jalur kerja mulung. Anak dan istri ikut, jadi pilih lokasi yang memungkinkan semua aman," katanya. Meski begitu, tidur di atas trotoar dengan alas kardus atau terpal seadanya, serta menjadikan gerobak sebagai penghalang, bukanlah kenyamanan yang ia dambakan.

Strategi Adaptasi Cerdas Warga Kolong

Menurut pengamat perkotaan Yayat Supriyatna, warga kolong menunjukkan kemampuan adaptasi yang luar biasa dalam memilih lokasi. "Mereka paham wilayah secara teritorial, menempati lokasi yang relatif aman dari razia Satpol PP, dan dekat dengan mata pencaharian," ujar Yayat. Keberadaan komunitas juga menjadi faktor penting yang memberikan keberanian bagi mereka untuk mencari dan menggunakan ruang publik bersama.

Mobilitas warga kolong terukur, dengan radius aktivitas sekitar 1 hingga 3 kilometer. Mereka cenderung menempati lokasi yang dianggap paling aman, biasanya mulai pukul 8 pagi hingga malam hari. Strategi ini memungkinkan mereka untuk menjaga barang-barang, bekerja, dan bertahan di ruang publik dengan risiko yang diminimalkan. Fenomena ini mencerminkan keterkaitan erat antara kondisi ekonomi, kemampuan adaptasi, dan pemahaman mereka terhadap ruang kota. "Kelompok ini termarjinalkan, namun mereka paham memilih tempat tinggal yang efisien, dekat mata pencaharian, aman dari gangguan, dan memiliki kemudahan sanitasi," tambah Yayat.

Keseharian yang Penuh Perjuangan

Di trotoar Jalan Latuharhary, Ale dengan tekun memilah botol plastik dan kardus. Pendapatannya yang pas-pasan hanya cukup untuk makan sehari-hari. Sukinem memulai paginya dengan berkeliling mencari barang bekas, berharap dapat mengirim sedikit rezeki kepada anak-anaknya di kampung halaman. Ia tidur di kolong jembatan, berupaya menjaga barang-barangnya dari kehilangan.

Bagi Sarwono, keselamatan keluarga adalah prioritas utama. Ia memilih bertahan di lokasi yang relatif ramai agar istri dan anaknya aman, meskipun harus waspada setiap malam. Kehidupan di tepi rel dan trotoar memaksa mereka untuk menghadapi berbagai risiko, mulai dari cuaca buruk, kebisingan kereta, hingga potensi kehilangan barang.

Kompleksitas Kehidupan Urban Jakarta

Yayat Supriyatna menegaskan bahwa pilihan lokasi warga kolong sangat pragmatis, mempertimbangkan keamanan, kedekatan dengan sumber penghidupan, dan akses sanitasi. Ketimpangan ekonomi dan minimnya akses terhadap hunian layak memaksa mereka mengisi ruang-ruang publik yang tersedia. Strategi adaptasi mereka mencakup pemilihan lokasi yang aman, pengelolaan barang, mobilitas yang terukur, serta pembentukan jaringan komunitas untuk saling menjaga.

"Mereka mengisi ruang kota yang gratis dengan strategi adaptasi yang sangat terukur," kata Yayat. Keberadaan komunitas ini juga membantu mereka menyesuaikan diri dengan patroli aparat, dengan mengetahui kapan waktu yang aman untuk kembali menempati ruang tersebut. Mobilitas mereka yang terbatas namun efektif, dalam radius 1-3 kilometer, cukup untuk mencari nafkah dan bertahan hidup.

Patroli rutin Satpol PP, menurut Yayat, tidak serta merta mengubah pola hidup mereka secara signifikan. Keberadaan warga kolong adalah cerminan dari adaptasi terhadap kondisi ekonomi, keterbatasan ruang, dan kemampuan membentuk jaringan sosial yang memungkinkan mereka bertahan di tengah hiruk pikuk kota besar.

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
3/related/default