
Tiga Jenderal Bintang 5 di Indonesia
Di dalam sejarah Tentara Nasional Indonesia (TNI), hanya terdapat tiga jenderal yang memiliki pangkat bintang lima. Mereka adalah Soedirman, AH Nasution, dan Soeharto. Pangkat bintang lima merupakan pangkat militer tertinggi yang diberikan di Indonesia. Pada tahun 1997, pangkat ini diperkenalkan dengan tiga kategori, yaitu Jenderal Besar (TNI AD), Laksamana Besar (TNI AL), dan Marsekal Besar (TNI AU). Namun, hingga saat ini hanya Jenderal Besar yang pernah diberikan, sedangkan dua lainnya belum pernah diberikan.
Pemberian gelar ini tidak hanya didasarkan pada kualitas sang perwira tinggi, tetapi juga atas kontribusi besar mereka terhadap negara. Berikut adalah profil dari ketiga tokoh tersebut:
Soedirman
Soedirman adalah Panglima TNI pertama yang dinobatkan oleh Presiden Sukarno pada 27 Juni 1947. Sebelumnya, ia menjadi Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat (TKR) setelah hasil Konferensi TKR di Yogyakarta pada 12 November 1945. Salah satu jasa besar Soedirman adalah memimpin Resimen I/Divisi I TKR dalam menggagalkan upaya Jepang mengambil alih gudang senjata.
Soedirman lahir di Purbalingga pada 24 Januari 1916. Ia diasuh oleh pamannya, Raden Cokrosunaryo, karena orangtuanya bekerja di luar daerah. Pendidikannya dimulai dari Sekolah Dasar Hollandsche Inlandsche School (HIS) di Cilacap, kemudian melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO) di Yogyakarta. Setelah itu, ia masuk ke Perguruan Parama Wiwowo Tomo dan menyelesaikan pendidikannya pada 1935. Sayangnya, pendidikannya berhenti pada 1936.
Setelah itu, Soedirman menjadi guru di Sekolah Dasar Muhammadiyah. Ia juga aktif dalam kegiatan Muhammadiyah, seperti Kelompok Pemuda Muhammadiyah. Pada 1944, ia bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA) dan diangkat menjadi komandannya.
Setelah kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Soedirman memerintahkan rekan-rekannya untuk kembali ke daerah asal masing-masing. Ia sendiri pergi ke Jakarta dan menemui Bung Karno. Namun, ia menolak permintaan Bung Karno untuk memimpin perlawanan Jepang di Jakarta karena merasa tidak menguasai medan. Ia menawarkan diri untuk memimpin pasukan di Kroya.
Pada 19 Agustus 1945, Soedirman kembali dan bergabung dengan pasukannya. Ketika itu, Belanda tengah berupaya kembali ke Indonesia bersama tentara Inggris. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) membentuk tiga badan sebagai wadah perjuangan rakyat pada 22 Agustus 1945, yakni: Komite Nasional Indonesia (KNI), Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Badan Keamanan Rakyat (BKR).
Soedirman mendirikan divisi lokal dalam BKR dan kemudian pasukannya dijadikan bagian dari Divisi V pada 20 Oktober 1945 oleh Panglima Sementara Oerip Soemohardjo. November 1945, dilaksanakan pemilihan panglima besar Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Yogyakarta. Saat itu terdapat dua kandidat: Soedirman dan Oerip Soemohardjo. Soedirman terpilih menjadi Panglima Besar TKR, sedangkan Oerip Soemohardjo menjadi kepala staffnya.
Meski belum dilantik secara resmi, Soedirman mengerahkan pasukannya untuk menyerang Inggris dan Belanda di Ambarawa. Selain melawan Sekutu dan Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia, Soedirman dan pasukannya juga harus melawan serangan dari dalam. Salah satunya adalah upaya pemberontakan PKI Madiun yang dipimpin oleh Musso pada 1948. Berbagai perlawanan dilalui oleh Jenderal Sudirman hingga dia menderita penyakit tuberkoliosis.
Meski dalam kondisi sakit, Soedirman tetap memimpin perlawanan Indonesia melawan Belanda yang melakukan Agresi Militer II pada 19 hingga 20 Desember 1948. Ketika itu, Belanda berhasil menduduki Yogyakarta yang menjadi ibu kota Indonesia dan menawan para pemimpin negara, seperti Soekarno dan Hatta. Jenderal Soedirman dan beberapa tentara serta dokter pribadinya melakukan gerilya selama tujuh bulan. Perlawanan yang terus dilakukan oleh pejuang gerilyawan Indonesia berhasil membuat Belanda menarik diri.
Ketika itu, Pak Dirman masih berkeinginan terus melawan Belanda, tetapi ditolak oleh Bung Karno karena mempertimbangkan masalah kesehatan sang jenderal. Dalam kondisi sakit, Jenderal Sudirman diangkat menjadi panglima besar TNI di negara baru Republik Indonesia Serikat pada 27 Desember 1949. Jenderal Soedirman mengembuskan napas terakhir pada 29 Januari 1950 di usia yang ke-34 tahun. Dia lalu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.
AH Nasution
AH Nasution adalah sosok penting dalam sejarah TNI. Karier militer Nasution dimulai pada 1940 ketika mendaftar sebagai prajurit di sekolah perwira cadangan bikinan Belanda. Dalam kurun waktu itu, dia pernah terjun ke medan perang melawan Jepang di Surabaya, tepatnya pada 1942.
Setelah menjadi Panglima Divisi III/Priangan, Nasution kemudian dilantik oleh Presiden Sukarno sebagai Panglima Divisi Siliwangi. Salah satu prestasi terbesarnya adalah menumpas Pemberontakan PKI Madiun 1948. Nasution juga dikenal sebagai teoritikus perang gerilya yang dia artikan sebagai perang rakyat.
Nasution lahir di Hutapungkut, Kotanopan, Sumatera Utara, 3 Desember 1918. Dia adalah anak kedua dari pasangan H. Abdul Halim Nasution dan Hj. Zaharah Lubis. Ayah Nasution adalah anggota Sarekat Islam. Tidak heran jika Nasution tumbuh dalam keluarga yang sangat taat beragama Islam.
Pendidikan dasar Nasution ditempuh di Hutapungkut. Ayahnya ingin dia belajar di sekolah agama, sementara ibunya ingin di kedokteran di Batavia, tapi dia memilih belajar mengajar di Sekolah Raja Bukittinggi (sekarang SMAN 2 Bukittinggi) pada 1932. Beasiswa.
Pada 1935, Nasution pindah ke Bandung. Awalnya ingin jadi guru, tapi dia akhirnya menjadi prajurit. Pada 1940, Nasution bergabung dalam korps perwira cadangan yang dibentuk Belanda. Dia lalu dikirim ke Akademi Militer Bandung untuk memulai pelatihan. Pada September 1940, Nasution dipromosikan menjadi kopral dan tiga bulan setelahnya menjadi sersan, dan kemudian menjadi perwira di Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL).
Ketika Jepang datang, Nasution ditugaskan di Surabaya untuk menjaga pelabuhan. Ketika Indonesia merdeka, dia bergabung ke dalam TKR. Setahun setelahnya, Nasution diangkat menjadi Panglima Regional Divisi Siliwangi, yang bertugas menjaga keamanan di Jawa Barat.
Pada 1948, Nasution naik pangkat lagi menjadi Wakil Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI). Sebelumnya, pada 1946, dia terlibat dalam peristiwa Bandung Lautan Api, di mana dia memerintahkan masyarakat untuk segera mengosongkan Kota Bandung.
Lalu meletus Peristiwa Madiun 1948. Jendera Soedirman ingin menyelesaikan konflik dengan cara damai tanpa ada kekerasan dan mengirim Letnan Kolonel Soeharto untuk menegosiasikan kesepakatan bersama Amir dan Musso. Dia lalu melapor kepada Soedirman dan Nasution bahwa kondisi saat itu sudah terbilang aman.
Tapi Nasution masih merasa curiga. Dia lalu memutuskan mengambil tindakan keras dengan mengirim pasukan untuk menumpas pemberontakan di Madiu. 30 September 1948, pasukan Divisi Siliwangi berhasil merebut kembali Madiun.
19 Desember 1948 terjadi Agresi Militer Belanda II. Dalam kondisi itu, Nasution mengumumkan pembentukan Pemerintahan Militer Indonesia, yang menjadi cikal-bakal lahirnya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, Sumatra Barat. Dia diberi posisi sebagai Komandan Angkatan Darat dan Teritorial Jawa selama pemerintahan sementara ini berlangsung. Setelah Belanda bersedia mengakui kedaulatan Indonesia, PDRI mengembalikan kekuasaan mereka kepada Sukarno dan Hatta.
Pada 1 Oktober 1965 dini hari, terjadi penculikan tujuh perwira Angkatan Darat yang disebut sebagai Gerakan 30 September atau G30S. Nasution menjadi salah satu targetnya. Tapi Nasution selamat setelah melarikan diri lewat pagar rumah tetangganya – meskipun sang putri jadi korban. Peristiwa itu membawa kehancuran bagi rezim Sukarno, dan giliran Soeharto yang naik ke tampuk kepemimpinan. Nasution kemudian ditunjuk sebagai Ketua MPRS yang sebelumnya dipegang Chairul Saleh, dia menjabat pada periode 1966-1972.
Abdul Haris Nasution wafat pada 6 September 2000 di Jakarta setelah menderita penyakit stroke. Jasadnya dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Untuk mengenang jasanya, AH Nasution diberi penghargaan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Soeharto
Soeharto adalah presiden RI ke-2 dan menjadi sosok sentral dalam pemerintahan Orde Baru. Karier militer Soeharto dimulai pada Oktober 1945 di zaman Revolusi Mempertahankan Kemerdekaan. Nama Soeharto semakin dikenal dalam peristiwa Serangan Oemoen 1 Maret 1949. Dia dianggap mempunyai peran vital dalam merebut kembali kota Yogyakarta dari tangan Belanda.
Soeharto juga ditunjuk sebagai pemimpin Komando Mandala dalam kampanye merebut kembali Irian Barat. Karena prestasinya itu, pangkatnya naik menjadi Mayor Jendera. Soeharto lahir pada 8 Juni 1921 di desa Kemusuk, sebelah barat Yogyakarta. Dia tumbuh dalam keluarga petani sederhana dan hidup dalam lingkungan yang penuh dengan nilai-nilai tradisional.
Saat bayi, Soeharto tidak diasuh langsung oleh orangtuanya, tapi oleh Mbah Kromo, dukun bayi yang telah membantu proses kelahirannya. Empat tahun Soeharto bersama Mbah Kromo. Ibunya menikah lagi, ayahnya juga. Saat usianya 4 tahun, Soeharto dijemput ibunya dan diajak tinggal di rumah ayah tirinya.
Sekolah Soeharto pindah-pindah. Awalnya di SD Puluhan, Godean, tapi kemudian pindah ke SD Pedes. Soeharto kembali berpindah sekolah karena ayahnya menitipkan dia ke paman-bibinya, Prawirowihardjo, di Wuryantoro, Purwodadi. Setelah SD, Soeharto memilih kembali ke Kemusuk dan sekolah di SMP Muhammadiyah di Yogyakarta. Sejatinya dia ingin lanjut SMA, tapi tak punya uang. Dia pun masuk militer.
Dia lalu mendaftar di Militer Koning Willem III – sekarang Akademi Militer Magelang – pada 1940. Setahun kemudian dia terpilih sebagai prajurit teladan di Sekolah Bintara, Gombong, Jawa Tengah. Pada Oktober 1945, Soeharto resmi jadi anggota TNI. Dua tahun kemudian, dia menikah dengan putri pegawai Pura Mangkunegaran bernama Siti Hartinah/Ibu Tien. Pernikahan itu melahirkan Siti Hardiyanti Hastuti, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Herijadi, Hutomo Mandala Putra, dan Siti Hutami Endang Adiningsih.
Nama Soeharto makin dikenal saat Serangan Umum 1 Maret 1949. Singkat ceritanya, pangkatnya naik menjadi brigadir jenderal dan memimpin Komando Mandala dalam misi merebut kembali Irian Barat. Setelah itu, Soeharto ditarik Nasution di Mabes ABRI. Dia juga naik menjadi Panglima Kostrad pada 1962. Dan meletuslah Peristiwa 30 September 1965, yang kemudian semakin mengangkat pamor Soeharto.
Jalan Soeharto ke panggung politik semakin lancar dengan adanya Surat Perintah 11 Maret (Supersemar). Surat itu memberi kewenangan dan mandat kepada Soeharto untuk mengambil dan menentukan segala tindakan supaya permasalahan terselesaikan dan dapat memulihkan keamanan dan ketertiban nasional. Meski sudah memimpin sejak 1967, Soeharto baru resmi dilantik oleh MPRS untuk menjadi Presiden Republik Indonesia pada 27 Maret 1968. Dia lalu melakukan reformasi ekonomi terencana dan disiplin fiskal untuk mengatasi inflasi yang tinggi.
Setelah sekitar 30 tahun memimpin Orde Baru, Soeharto akhirnya jatuh pada 21 Mei 1998. Dengan mundurnya Soeharto, berakhirlah pemerintahan Orde Baru dan dimulailah era Reformasi yang masih berjalan hingga kini. Soeharto meninggal dunia pada usia 87 tahun di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan, 27 Januari 2006.