Flipper Vintage, Toko Barang Antik di Bogor yang Tetap Langgeng karena Loyalitas Muda

Erlita Irmania
0

BOGOR, Erfa News– Dari luar, Flipper Vintage & Hobbies tampak seperti toko barang antik pada umumnya. Namun, begitu pintu dibuka, pengunjung seolah masuk ke ruang waktu yang membawa mereka ke masa lalu. Ruangan tidak luas itu dipenuhi warna, bentuk, serta benda-benda yang tersusun rapi seperti pameran mini.

Dua figur besar—Kolonel Sanders dari KFC dan penjaga Ratu Inggris (Queen’s Guard) dengan seragam merah dan topi bearskin—langsung menyambut begitu pintu dibuka. Di sudut lain, lampu-lampu gantung bergaya klasik menggantung, sementara rak kayu memajang kaset, piringan hitam, jam tua, hingga berbagai artefak sejarah. Tata letaknya menunjukkan kehati-hatian seorang kolektor yang ingin memastikan setiap benda tampil maksimal dan tidak kehilangan cerita.

Di sinilah Ridhamal Barkah—akrab disapa Amal—membangun dunia kecilnya sendiri, sebuah ruang yang tumbuh dari hobi yang ia tekuni sejak lama. Berawal dari masa pandemi, Flipper Vintage berlokasi di kawasan KPP IPB Baranangsiang, Kota Bogor. Koleksinya mencapai puluhan ribu barang dari berbagai periode, sebagian berasal dari tahun 1800-an hingga 1900-an.

Keputusan membuka toko justru datang pada masa pandemi, ketika berbagai sektor terpukul dan pekerjaannya di hotel ikut terdampak. "Awalnya gara-gara Covid. Dulu saya memang sudah kepikiran mau bikin toko seperti ini, tadinya malah mau bikin Cuci Steam. Terus ngobrol sama om, kata om, 'Ngapain bikin Cuci Steam? Bikin toko antik aja.' Akhirnya bikin toko," ujarnya.

Dari sinilah Flipper Vintage lahir—bukan dari perhitungan bisnis klasik, melainkan dari tumpukan barang yang terus bertambah karena rasa sayang dan keterikatan personal. Koleksi Flipper Vintage sangat beragam. Toko ini tidak membatasi diri pada satu kategori barang antik. Ada jam dinding besar, radio tua, televisi retro, piringan hitam, gramophone, figur raksasa, hingga perangko lawas dan artefak sejarah.

Barang koleksi di Flipper Vintage mulai dari tahun 1800-an hingga tahun 1900-an. Amal mengerjakan semuanya secara mandiri, mulai dari pengecekan barang, konsep toko, hingga penataan interior. "Koleksi saya sifatnya general. Saya sebenarnya dari dulu senang motor antik dan Zippo, itu juga yang mendorong saya bikin toko. Semuanya saya kerjakan sendiri: ngecek barang, ngebangun konsep, mendesain, sampai menata toko," katanya.

Tidak ada pola tetap dalam mendapatkan barang. Ia bisa menemukan koleksi saat berburu, didatangi orang yang ingin menjual barang keluarga, atau melalui relasi. "Macam-macam. Ada yang dari rumah, ada yang orang datang sendiri, ada yang saya datangi ke rumahnya. Paling sering itu barang peninggalan orang tua yang anaknya nggak bisa atau nggak mau merawat," ucapnya.

Relasi, kata Amal, adalah kunci dalam dunia koleksi. "Iya, relasi penting banget. Dari Instagram juga ada yang nawarin. Kadang teman-temannya om juga suka bawain," ujarnya.

Warisan minat dari keluarga Amal mengakui kecintaannya pada barang antik lahir dari lingkungan keluarga. "Mungkin karena orang tua juga suka barang-barang seperti ini, tapi lebih ke mebel. Tapi yang bikin saya benar-benar 'keracunan' itu om saya. Om saya sudah koleksi dari tahun 70-an," ujarnya.

Warisan pengetahuan itu membentuk cara Amal memandang koleksi: hobi dulu, baru transaksi. Tanpa passion, toko seperti ini sulit bertahan. Tumpukan benda di Flipper Vintage tidak datang dari satu sumber. Amal mengurai prosesnya. Tidak ada pola baku dalam proses ia mendapatkan barang-barang tersebut.

Setiap benda datang dengan jalannya sendiri. Ada yang ia temukan saat sedang berburu, ada yang tiba-tiba muncul karena seseorang mendengar kabar tentang tokonya, dan ada pula yang datang sebagai satu paket peninggalan keluarga.

Saat banyak orang menahan diri, Amal justru mengambil risiko. Tidak ada investor atau pinjaman. Kendaraan kesayangan pun dijualnya. Untuk membuka Flipper Vintage, Amal menjual kendaraan kesayangannya. "Iya. Saya sampai jual mobil dan motor-motor kesayangan untuk bikin toko ini," katanya.

Amal bercerita bahwa, bangunan Flipper Vintage dahulu bukan bangunan rumah maupun ruko. Ia mengubah area parkir di samping rumah menjadi sebuah toko kecil. "Ini tadinya parkiran mobil. Setengah bagian saja, yang sebelah sana bangunan baru," jelasnya.

Berkat dukungan keluarga—termasuk mertua yang juga berkecimpung di dunia seni—toko ini akhirnya bertahan hingga empat tahun. "Mendukung semua. Keluarga istri juga masih satu frekuensi: mertua laki-laki jualan lukisan dan batu permata. Jadi nyambung semua, nggak ada yang kontra," ujarnya.

Lingkaran dukungan ini membuat Amal tidak merasa sendirian menjalankan bisnis niche seperti ini. Menyasar anak muda Meski identik dengan kolektor senior, Flipper Vintage justru kuat di segmen anak muda. "Target saya berbeda dari galeri-galeri besar. Saya menyasar anak muda, tapi tetap bisa masuk ke middle age dan orang tua. Konsep tokonya vintage, bukan antik," ujar Amal.

Konsep vintage—yang kini booming di kafe, hotel, dan ruang estetik—membuat barangnya banyak dicari interior designer, pemilik kafe, maupun kolektor baru. "Vintage itu 70-an ke atas, kalau yang lebih tua itu antik," katanya.

Namun, sebagian benda di Flipper Vintage tidak bisa dibawa pulang oleh pembeli, sekalipun ditawar tinggi. "Ada. Contoh Superman satu itu—sayang banget. Ada juga beberapa jam master rail, barang yang masuk kategori collector item dan biasanya masuk lelang," kata dia.

Ada juga benda sejarah Indonesia yang “dipegang” dengan prinsip memiliki nilai sejarah bangsa tidak boleh dilepas ke pasar internasional, seberapapun tinggi tawarannya. "Dan saya tidak pernah jual barang historis Indonesia ke orang luar negeri. Prinsip saya, barang sejarah Indonesia harus tetap muter di Indonesia," kata dia.

Itu termasuk prasasti kecil dari logam, kotak topeng, hingga benda era Majapahit. Tak hanya menjual barang-barang antik seperti figur, toko ini nyatanya menjual koleksi medali yang terdapat cerita di belakangnya. Kata Amal, koleksi itu datang dari sebuah keluarga atlet legendaris asal Bogor.

"Pas dikasih tahu, justru jadi makin tertarik. Jadi di Bogor itu punya legendaris badminton. Legendaris badminton itu dari tahun 40-an. Itu saya dapat semua. Dijualin semua dari turun-turun. Jadi dari ibunya, sampai ke anaknya, sampai ke cucunya. Itu semua punya prestasi di badminton dari tahun 40-an ke 30-an," ujarnya.

Pasar semakin ramai sejak pandemi Berbeda dari anggapan bahwa barang antik adalah pasar sempit, Amal justru merasakan peningkatan kunjungan sejak pandemi. "Naik. Sejak Covid malah lebih ramai, mungkin karena orang banyak di rumah dan cari hobi. Banyak interior designer, pemilik kafe, dan hotel yang cari barang vintage," ujar dia.

Untuk menjaga kepercayaan pelanggan, Amal selalu menempatkan kejujuran sebagai aturan utama dalam jual beli di tokonya. "Dijamin original. Kalau ada barang reproduksi, saya pasti bilang. Kalau ada bagian yang diganti, saya tulis juga," katanya.

Bagi kolektor, informasi seperti ini sangat penting. Transparansi menjadi pembeda antara pedagang musiman dan pengelola toko serius. Tak bisa ditebak Pasar barang vintage, kata Amal, nyaris tak bisa ditebak. Ia menyebutkan, dalam seminggu bisa melariskan mainan, Minggu selanjutnya, bisa jadi jam yang paling laris. "Random banget. Minggu ini mainan, minggu depan jam. Tergantung kebutuhan," ucapnya.

Meski tokonya berlokasi di Bogor, pelanggan Flipper Vintage & Hobbies datang dari berbagai daerah, termasuk Bali dan Sumatera. Pengunjung muda seperti Raka (22) dan Seli (20) datang dengan alasan yang berbeda. Raka mengaku hanya "iseng", tetapi tertarik karena suasana toko yang menghadirkan pengalaman visual berbeda.

"Iya bukan kolektor banget. Cuma suka aja lihat bentuk-bentuk barang jadul. Kayak vibes-nya beda, lebih ada cerita gitu. Buat hiburan mata juga sih," katanya. Baginya, perbedaan utama barang antik dibanding barang modern bukan soal fungsi. Semua terasa kembali pada perasaan—pada kesan bahwa benda-benda itu membawa memorinya sendiri.

"Kayaknya lebih ke feeling aja ya. Barang modern tuh semuanya sama. Kalau barang antik tuh kayak punya personality. Kayak ada jejak umurnya," ucapnya. Sesekali, ia membawa pulang sesuatu yang kecil dan terjangkau. Bukan koleksi besar, hanya dekorasi yang membuat kamarnya terasa lebih personal.

"Pernah beli kaya lukisan kecil gitu sih, murmer, cuma buat hiasan kamar. Lebih ke lucu aja bentuknya," ujar Raka. Sementara Seli datang karena tertarik barang-barang estetik untuk dekorasi kamar dan properti foto. Baginya, toko seperti ini adalah perpaduan estetika dan keanehan yang menyenangkan.

"Aku suka lihat barang-barang yang bentuknya unik. Soalnya aku seneng liat barang yang punya gaya khas. Enggak harus antik banget, yang penting estetik," kata Seli. Ia mengaku bukan kolektor, tetapi peminat "estetik-antikan" istilah yang menggambarkan selera visual anak muda urban yang gemar memadukan unsur jadul ke dalam ruang personal mereka. Barang antik bukan sekadar benda lama, tetapi elemen dekorasi yang memberi karakter pada ruangan.

Dari semua koleksi yang memenuhi toko, Seli paling terpikat oleh jam-jam tua yang berdiri tegak di sisi dinding serta lampu-lampu jadul yang memancarkan aura klasik. Baginya, bentuknya fotogenik dan punya nilai visual yang tidak dimiliki lampu modern. "Kalau yang di toko sih jam-jam tuanya itu sih. Terus lampu-lampu jadul yang bentuknya tinggi. Cakep buat difoto," paparnya.

Menurut Seli, alasan barang vintage tetap relevan bagi generasi muda adalah karena mereka selalu mencari sesuatu yang berbeda. Produk modern cenderung seragam, sedangkan barang lama menawarkan keunikan yang tidak tergantikan. "Karena anak muda suka barang yang 'beda'. Kami kan gampang bosan ya. Barang antik tuh kayak ngasih alternatif selain barang yang semuanya sama," ujarnya.

Menjaga Identitas Lewat Barang Antik Sosiolog UNJ Rakhmat Hidayat menilai keberadaan toko seperti Flipper Vintage tidak hanya soal bisnis, tetapi juga bagian dari merawat identitas budaya. "Mereka yang memahami hal ini memiliki perspektif budaya yang sangat bagus, tidak hanya sekadar ilmu koleksi tapi merawat memori kolektif dan kultural," ujarnya.

"Ini penting dipertahankan dalam konteks menghadapi globalisasi dan modernisasi," tambah dia. Ia menyebutkan, setiap benda antik memiliki nilai simbolik yang harus dijaga dalam perjalanan sejarah modern Indonesia. "Barang-barang antik itu beragam, gelang, patung, artefak, uang logam, baju-baju, semuanya membawa nilai kultural dan simbolik yang harus dijaga," ujarnya.

Menurut dia, minat anak muda pada barang vintage merupakan bagian dari proses mengenali identitas kultural dan simbolik di tengah modernisasi. "Generasi muda justru mengulik, meminati, dan menggeluti barang-barang antik. Ini bukan sekadar hobi tapi mekanisme kultural untuk merawat identitas simbolik dan memori historis yang diwariskan generasi sebelumnya," ujar dia.

Meski jumlahnya kecil, tetapi memiliki karakteristik yang sangat berbeda. Mereka terkoneksi melalui komunitas, media sosial, dan acara-acara berkumpul yang terus berkembang. Selain itu, ia menilai, nostalgia bukan sekadar rasa rindu pada masa lampau. Ia adalah jembatan yang menghubungkan identitas personal. Ia menekankan bahwa benda-benda antik menyimpan ingatan kolektif yang berakar jauh sebelum era modern.

"Nostalgia dalam sosiologi disebut memori, misalnya barang antik seperti kris, stupa, atau lonceng mengingatkan era kerajaan," katanya. Menurut dia, memori historis ini tetap bertahan karena memiliki nilai simbolik yang tidak dimiliki barang-barang modern. "Barang-barang antik ini manifestasi dari identitas dan budaya simbolik, serta bertahan dalam kontestasi global," ucap dia.

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
3/related/default