
Cinta dalam Diam dan Kata: Perbedaan Budaya dalam Menyampaikan Kasih
"Kita tidak pernah benar-benar berbicara dalam bahasa yang sama, kita hanya belajar saling mendengar dalam diam yang berbeda." (Haruki Murakami)
Pernahkah Anda menyaksikan sepasang suami-istri yang telah menikah puluhan tahun, tangan mereka tak pernah berpegangan di depan umum, mata mereka jarang bertemu lama, dan kata "cinta" mungkin belum pernah terucap seumur hidup. Namun saat sang istri batuk sekali, sang suami sudah diam-diam merebus jahe, menaruh madu asli di meja, lalu pergi ke warung membeli permen jahe impor, semua tanpa sepatah kata?
Itulah cinta dalam diam bukan karena tak ada, tapi karena budaya mengajarkan: perasaan terlalu sakral untuk diucap, terlalu agung untuk ditampilkan.
Dan di sisi lain, pernahkah Anda melihat pasangan muda di kafe Jakarta atau kota mana saja, saling membagi satu cup latte, lalu si perempuan dengan mata berkaca-kaca berkata: "Aku butuh kamu bilang aku berarti buat kamu hari ini, sekarang, jangan tunggu besok." Baginya, cinta yang tak diucap hari ini, adalah cinta yang mulai menguap.
Dua contoh dunia cinta. Dua cara mengalirkan kasih. Bukan salah satu lebih benar. Tapi ketika keduanya bertemu dalam satu ranjang, satu dapur, satu masa depan, maka yang muncul bukan hanya harmoni, tapi juga gesekan halus yang seperti pasir di sepatu: tak menghentikan langkah, tapi terasa terus, pelan-pelan mengikis.
Cinta yang Dilarang Berbicara: Warisan dari Timur yang Tak Pernah Lupa Diri
Di banyak budaya Asia (Jawa, Sunda, Jepang, Korea, Tionghoa) kasih sayang sering kali tumbuh dalam keheningan yang penuh makna. Di sana, kata-kata cinta dianggap terlalu mentah jika diucap begitu saja. Seperti beras yang belum matang, ia bisa mengganggu keseimbangan.
Orang tua kita dulu mungkin tak pernah bilang "I love you", tapi mereka bangun pukul 4 pagi untuk menanak nasi, menyisihkan lauk terbaik untuk anak, dan diam-diam menabung bertahun-tahun demi kuliah kita. Dalam budaya ini, cinta adalah kerja diam, ngemong tanpa syarat, ngayomi tanpa pujian, ngerawat tanpa perlu diketahui.
Dalam tradisi Jawa, ada konsep wewadi: sesuatu yang sakral, terlalu dalam, terlalu suci untuk diucapkan terbuka. Cinta termasuk di dalamnya. Mengatakannya dianggap nggaya, seolah-olah butuh validasi luar. Padahal, bagi mereka yang dibesarkan dalam alam pikiran ini, cinta yang tulus justru terlihat dari apa yang tidak dikatakan, tapi dilakukan: Nasi yang selalu hangat meski ibu baru pulang dari sawah. Ayah yang diam-diam menyimpan uang receh selama 3 bulan, lalu tiba-tiba memberi sepeda baru, tanpa alasan, tanpa perayaan. Suami yang tak pernah memeluk di depan mertua, tapi setiap malam memastikan AC kamar istrinya menyala 10 menit sebelum ia tidur.
Apa makna psikologisnya? Ini adalah bentuk secure attachment yang dibangun melalui konsistensi, bukan intensitas. Rasa aman tidak lahir dari deklarasi emosional, tapi dari keyakinan: "Aku tahu, meski ia diam, ia tak akan pernah melepaskan tanganku."
Tapi ketika generasi ini jatuh cinta pada seseorang yang dibesarkan di budaya yang berbeda misalnya, pasangan yang tumbuh di keluarga Kristen Barat, atau muda urban yang terpapar film Hollywood, maka yang muncul bukan ketidakcocokan, tapi kerinduan yang tak terpenuhi.
Ia menunggu kata-kata yang tak pernah datang. Ia menafsirkan diam sebagai kejenuhan. Ia mengira, ketidakhadiran pelukan berarti ketidakhadiran kasih.
Padahal di balik diam itu, suaminya sedang menabung diam-diam untuk operasi mata istrinya yang mulai kabur. Tapi karena ia tak pernah bilang, istrinya mengira ia sedang sibuk dengan dirinya sendiri.
Cinta yang Butuh Saksi: Ketika Kata adalah Janji, dan Sentuhan adalah Doa
Di banyak budaya Barat (Amerika, Eropa) serta dalam tradisi keluarga Kristen yang ekspresif, cinta justru dianggap belum utuh jika tidak diucap, tidak dibagikan, tidak dikonfirmasi. Di sana, kata "I love you" bukan sekadar hiasan ia adalah kontrak emosional, pengingat harian bahwa ikatan ini masih hidup.
Dalam budaya yang menekankan individualitas dan komunikasi langsung, tidak mengucapkan cinta bisa dibaca sebagai ketidakjelasan komitmen. Seperti lampu lalu lintas yang mati: semua orang ragu, semua orang menunggu dan kemacetan terjadi.
Mari sejenak kita membaca dalam Kitab Amsal 12:18, "Ada orang yang lancang mulutnya seperti tikaman pedang, tetapi lidah bijak mendatangkan kesembuhan." Ayat ini menggarisbawahi betapa kuatnya kekuatan kata, baik untuk melukai maupun menyembuhkan. Dalam budaya yang menghargai verbalisasi, tidak berbicara bisa jadi bentuk kekerasan pasif: "Kalau kamu tidak bilang, berarti kamu tidak merasa."
Begitu pula dengan sentuhan. Di banyak keluarga Kristen, pelukan adalah bagian dari doa, tangan yang bertemu, dahi yang bersentuhan, napas yang menyatu dalam "Amin." Sentuhan fisik bukan sekadar keintiman, tapi pengakuan kehadiran rohani. Maka ketika suami tak pernah memeluk, bagi istrinya itu bukan sekadar kebiasaan itu seperti doa yang tak pernah diakhiri.
Psikologisnya, ini adalah attachment style yang butuh afimasi verbal dan fisik. Bagi mereka, cinta bukan hanya ada ia harus terasa, terdengar, terlihat. Sebuah pelukan 10 detik bisa menurunkan kortisol (hormon stres) lebih efektif daripada 10 menit nasihat. Dan sebuah kalimat "Kamu berarti banget buat aku" bisa menjadi obat untuk luka yang bahkan tidak disadari.
Tapi ketika ia menikah dengan seseorang dari budaya yang melihat ekspresi terbuka sebagai kelemahan atau kelebihan emosi, maka ia merasa seperti berteriak di ruang kedap suara.
Ia memberi kata-kata seperti hujan, tapi tanah pasangannya begitu kering, begitu biasa menyerap dalam diam, hingga ia tak tahu: apakah hujan itu benar-benar sampai?
Ketika Dunia Bertemu: Kisah Nyata dari Pasangan Indonesia-Jerman
Di sebuah apartemen kecil di Bandung, tinggallah Maya, perempuan Sunda yang tumbuh dengan ajaran teposeliro (mengalah demi harmoni) dan Lukas, suaminya yang berasal dari Hamburg, Jerman, tempat di mana "klarheit" (kejelasan) adalah nilai tertinggi dalam komunikasi.
Awalnya, semuanya indah. Maya terkesan dengan kejujuran Lukas: "Aku suka cara kamu tertawa. Itu membuatku merasa damai."
Lukas terpesona oleh ketenangan Maya: ia tak pernah mengeluh, selalu siapkan kopi hangat, dan tahu kapan suaminya butuh diam.
Tapi enam bulan kemudian, retak mulai terlihat. Saat Lukas lelah dari rapat online, ia ingin Maya memeluknya hanya 30 detik, tanpa bicara. Tapi Maya, karena takut mengganggu, hanya meletakkan teh hangat di meja, lalu pergi ke dapur. Ia pikir itu cukup. Toh, dia sudah melihat aku menyiapkan teh.
Lukas merasa diabaikan. "Kenapa kamu tidak datang? Aku butuh kehadiranmu, bukan hanya layananmu."
Maya terluka. "Aku sudah lakukan yang terbaik. Apa salahnya teh hangat?"
Malam itu, mereka berdebat bukan tentang teh atau pelukan, tapi tentang apa artinya "hadir".
Baru setelah seorang konselor keluarga membantu mereka, mereka paham: Maya tumbuh dalam budaya yang menganggap bahwa mengganggu adalah bentuk ketidaksopanan. Memberi ruang adalah bentuk cinta tertinggi. Lukas tumbuh dalam budaya yang menganggap diam saat pasangan butuh adalah bentuk ketidakhadiran. Memberi respons (bahkan hanya sentuhan) adalah bentuk penghormatan.
Solusinya sederhana, tapi butuh keberanian besar: Setiap malam, Lukas belajar diam selama 5 menit, hanya duduk di sebelah Maya, tanpa bicara, tanpa sentuhan, untuk merasakan kekuatan kehadiran tanpa aksi. Dan Maya belajar mengulurkan tangan, pelan, lalu meletakkannya di lengan Lukas, tanpa kata, tapi dengan maksud: "Aku di sini."
Lambat laun, mereka menciptakan bahasa baru: Teh hangat ditambah sentuhan lembut di punggung sama dengan "Aku tahu kamu lelah, dan aku di sini."
Diam berdua sambil memandang senja sama artinya dengan "Aku tidak perlu bicara, karena bersamamu, diam pun bercerita."
Mereka tidak mengubah diri. Mereka memperluas diri.
Cinta Lintas Budaya Bukan Soal Menang atau Kalah, Tapi Membangun Rumah di Perbatasan
Tak ada budaya yang lebih unggul dalam mencintai. Jawa punya wewadi, Yunani punya agape, Arab punya mahabbah, Jepang punya koi dan ai, dua kata berbeda untuk cinta yang sensual dan cinta yang spiritual.
Yang membuat cinta lintas budaya rentan retak bukan karena perbedaannya, tapi karena kita lupa: perbedaan itu bukan jurang, melainkan jembatan yang belum selesai dibangun.
Psikologi modern menyebutnya cultural humility, kerendahan hati untuk mengakui bahwa cara mencintai kita hanyalah salah satu dari ribuan cara yang sah di dunia ini. Bukan standar universal. Bukan patokan mutlak.
Dan keindahannya justru di situ: Ketika seorang istri dari Sumba, yang budayanya mengajarkan bahwa perempuan tidak boleh menatap suami terlalu lama, perlahan belajar menatap mata suaminya selama 3 detik setiap pagi, sebagai hadiah kecil untuk cintanya.
Dan ketika suaminya yang dibesarkan di keluarga Minang yang ekspresif belajar menahan hasrat untuk memeluk di depan mertua, tapi diam-diam menyisipkan secarik kertas dalam dompet istrinya: "Terima kasih karena kamu tetap lembut, meski dunia kasar."
Itulah cinta dewasa: bukan menyatukan dua budaya menjadi satu, tapi menciptakan budaya ketiga yang lahir dari rasa hormat, keberanian, dan kerinduan yang sama-sama dalam: untuk benar-benar dilihat, meski dengan mata yang berbeda.
Bahasa Cinta yang Tak Punya Nama
Ada satu kisah dari pedalaman Flores yang selalu saya ingat. Di sana, ketika seorang suami sangat mencintai istrinya, ia tak mengucap puisi. Ia tak memberi bunga. Ia pergi ke hutan, memotong satu batang pohon kenari tua (yang paling kuat, paling tahan angin) lalu mengukirnya perlahan menjadi tangga ke loteng dapur. Kenapa loteng dapur? Karena di sanalah istrinya menyimpan padi, rempah, dan hasil kebun sumber hidup keluarga.
Ia tak pernah bilang: "Aku cinta kamu." Tapi setiap kali istrinya naik tangga itu, kakinya menyentuh ukiran yang halus, kayunya kokoh, langkahnya aman dan ia tahu: ini adalah cintanya, dalam bentuk yang bisa diinjak, dipercaya, dan diandalkan setiap hari.
Sementara di sebuah apartemen di Singapura, seorang perempuan Thailand menulis surat kecil setiap minggu (dalam bahasa Inggris yang patah-patah) untuk suaminya yang dari Skotlandia: "Today, you smile when you drink coffee. I happy. You are my sunrise."
Keduanya beda bahasa. Beda benua. Beda cara mengukir cinta. Tapi keduanya mengirim pesan yang sama: "Aku ada. Aku memperhatikan. Dan aku memilihmu hari ini, lagi."
Maka, untuk Anda yang sedang mencintai seseorang dari dunia yang berbeda, jangan khawatir jika kalian belum bicara dalam satu bahasa. Cukup pastikan: kalian berdua masih mau belajar mendengar, meski dalam diam, meski dalam salah paham, meski dalam rindu yang tak terucap.
Karena cinta lintas budaya bukan tentang menghapus asal-usul. Tapi tentang menanam pohon baru yang akarnya dari tanahmu, rantingnya dari tanahnya, dan buahnya untuk dunia yang mau belajar, bahwa kasih sayang itu tak punya satu wajah, satu nada, satu cara.
Ia punya banyak jalan pulang. Yang penting, kita berangkat bersama.