Pragmatis yang Efektif

Erlita Irmania
0

Pragmatisme dalam Kebijakan Publik: Antara Efisiensi dan Risiko

Kata "pragmatis" kini menjadi mantra baru dalam kebijakan publik Indonesia. Meski terdengar sederhana, kata ini digunakan untuk berbagai tujuan—mulai dari memotong proses birokrasi yang rumit hingga membungkam kritik yang dianggap menghambat. Namun semakin sering kata ini digunakan, semakin jelas pula bahwa pragmatisme sering kali menyembunyikan biaya sosial yang tidak pernah terang-terangan diakui.

Pragmatisme tampak modern dan efektif, seperti jalan keluar paling logis dari kerumitan birokrasi. Namun, ketika diterapkan secara berlebihan, ia bisa menjadi alat yang menimbulkan risiko besar, terutama dalam hal-hal yang berkaitan langsung dengan keselamatan masyarakat. Contohnya adalah wacana tentang “pengawas gizi” yang hanya menjalani pelatihan tiga bulan. Ini bukan sekadar perdebatan tentang profesionalisme, melainkan sebuah de javu—adegan ulangan dari babak kebijakan yang pernah dialami oleh banyak orang.

Pragmatisme yang Dijadikan Sistem

Beberapa tahun lalu, saya pernah direkrut sebagai petugas ad-hoc untuk sebuah proyek nasional yang sensitif dan berada di bawah sorotan internasional. Tugasnya terlihat sederhana, tetapi pada kenyataannya sangat kompleks. Kami harus memahami regulasi yang panjang, berhadapan dengan warga dalam situasi konflik, mengelola komunikasi publik, dan memastikan hak konstitusional jutaan orang tidak terabaikan.

Namun, negara hanya memberi kami waktu pelatihan dua hari. Ketika masuk tahap penting, pelatihannya kembali hanya dua hari. Semua proses dilakukan dengan cepat dan ringkas, seolah dianggap cukup. Padahal, waktu pelatihan yang minim bukanlah kecelakaan. Itu adalah desain sistem itu sendiri—sistem yang dibangun untuk menjalankan tahapan, bukan membangun keahlian.

Sertifikat diberikan, tapi pengetahuan tetap terbatas. Di lapangan, saya tidak benar-benar “siap”—saya hanya “kebetulan mampu” karena pengalaman kehumasan dari organisasi mahasiswa. Keberhasilan seperti itu bukanlah bukti bahwa sistem berfungsi. Itu hanya bukti bahwa sistem sedang ditopang oleh keberuntungan.

Dan keberuntungan—sebagaimana kita tahu—adalah fondasi terburuk bagi kebijakan publik.

Ketika Pelatihan Singkat Menjadi Sumber Risiko

Di ranah gizi anak, kegagalan tidak berhenti pada ketidaknyamanan—bisa berujung pada kehilangan nyawa. Inilah saat pragmatisme yang tampak sederhana berubah menjadi sesuatu yang tidak dapat diterima secara moral.

Indonesia memiliki sejarah panjang program pelatihan singkat yang berimplikasi besar. Data Kemenaker pada 2023 menunjukkan bahwa sebagian besar peserta pelatihan kejuruan hanya menjalani program kurang dari sepuluh hari dan banyak yang tidak siap masuk industri setelahnya. BAPPENAS menemukan bahwa hampir setengah kegagalan layanan dasar negeri ini bukan berasal dari niat buruk atau kelalaian, melainkan dari kapasitas petugas yang memang tidak dibangun secara memadai.

Bukti empiris di lapangan menguatkan gambaran itu: keracunan massal di dapur umum pascabencana, salah takar gizi pada program balita, hingga temuan audit yang menunjukkan bahwa standar keamanan pangan kerap dilanggar bukan karena petugas tidak peduli, melainkan karena mereka memang tidak memiliki instrumen kompetensi yang diperlukan.

Mengapa Wacana Ini Tetap Muncul?

Jawabannya cukup sederhana: negara sebenarnya tidak sedang mencari ahli. Negara sedang mencari administratur. Orang yang bisa mengisi formulir, melaporkan progres, mengambil foto kegiatan, serta memastikan dokumen lengkap dan rapi. Semua hal yang memang dibutuhkan dalam struktur birokrasi, tetapi tidak cukup untuk memastikan keselamatan makanan yang dikonsumsi anak-anak.

Dengan begitu, petugas akan terlihat bekerja, program terlihat berjalan, dan angka di laporan tahunan terlihat bergerak. Namun ketika sesuatu terjadi—makanan basi, salah takar zat gizi, atau keracunan massal—mereka yang berada di ruang ber-AC tidak tersentuh oleh risiko itu. Sebaliknya, petugas ad-hoc-lah yang akan ditarik ke depan sebagai pihak yang “gagal menjalankan SOP”.

Inilah bentuk paling "telanjang" dari pragmatisme yang sudah bergeser jauh dari makna aslinya. Pragmatisme bukan lagi sekadar pendekatan praktis, melainkan berubah menjadi strategi pemindahan risiko secara sistemik.

Perlu Jalan ke Luar

Kritik tanpa solusi hanya menghasilkan kepahitan. Oleh karena itu, keluar dari jebakan pragmatisme harus dimulai dengan membangun struktur kompetensi yang jelas. Tidak semua orang harus menjadi ahli, tetapi setiap orang harus ditempatkan pada peran yang sesuai dengan kapasitasnya.

Di banyak negara, hal ini dilakukan melalui pembagian kerja berbasis tim. Ahli gizi bertanggung jawab pada perencanaan dan pengambilan keputusan teknis. Petugas pengawas membantu mengoordinasikan aspek teknis lapangan, sementara kader kesehatan menjalankan tugas administratif yang tidak memerlukan latar belakang akademik yang kompleks.

Selain pembagian peran, pendekatan magang bersupervisi selama enam hingga dua belas bulan terbukti jauh lebih efektif daripada pelatihan intensif yang serba cepat. Jejaring magang dengan rumah sakit daerah, puskesmas, dan organisasi kemanusiaan bisa menjadi jalan tengah yang lebih aman dan lebih realistis.

Setiap program yang menyangkut makanan anak harus berada dalam pengawasan protokol keselamatan pangan yang ketat. Standar seperti HACCP, prosedur distribusi bersupervisi, dan keberadaan ahli gizi di setiap wilayah bukanlah kemewahan. Itu adalah standar minimum moral yang harus dipenuhi untuk menjaga keselamatan publik.

Terakhir, yang paling sederhana tetapi paling sulit dilakukan yaitu kejujuran administratif. Jika jumlah ahli gizi kita kurang, solusinya tidak membuat jalan pintas, tetapi memperkuat jalur pendidikannya. Pendidikan percepatan, beasiswa daerah, dan insentif untuk wilayah terpencil bisa menjadi bagian dari strategi yang lebih bermartabat.

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
3/related/default