Kehidupan dan Perjalanan Rasnal, Mantan Kepala Sekolah yang Dipecat
Rasnal, mantan kepala SMAN 1 Luwu Utara, kini menjadi sorotan publik karena keputusan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) terkait kasus dana komite sekolah. Ia dianggap melakukan pungli gegara meminta iuran sebesar Rp20 ribu untuk membantu bayar gaji guru honorer. Guru dan orang tua murid tawarkan bantuan untuk kembalikan haknya.
Latar Belakang Karier Rasnal
Perjalanan karier Rasnal sebenarnya cukup panjang. Ia memulai langkahnya di dunia pendidikan sebagai tenaga honorer pada tahun 2002. Setahun kemudian, ia resmi diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) dan mengajar di SMAN 1 Luwu Utara. Dedikasinya membuatnya dipercaya memimpin SMAN 18 Luwu Utara pada 2016. Dua tahun berselang, ia kembali ke sekolah awal kariernya, SMAN 1 Luwu Utara, kali ini sebagai kepala sekolah.
Namun, perjalanan panjang itu berakhir pahit. Pada 21 Agustus 2025, Rasnal menerima Surat Keputusan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) dari Gubernur Sulawesi Selatan. Keputusan tersebut tertuang dalam SK Gubernur Sulsel Nomor 800.1.6.2/3973/BKD, yang mencabut statusnya sebagai ASN setelah ia dinyatakan bersalah dan menjalani hukuman pidana selama satu tahun dua bulan, sesuai Putusan Mahkamah Agung Nomor 4999 K/Pid.Sus/2023.
Awal Kasus yang Berujung Hukuman
Yang membuat kisah ini begitu ironis, kasus yang menjeratnya tidak berawal dari niat memperkaya diri. Menurut pengakuannya, semua bermula dari keinginannya membantu para guru honorer agar tetap bisa menerima hak mereka. “Saya hanya ingin membantu. Tidak ada sepeser pun yang saya nikmati,” ujar Rasnal.
Peristiwa itu bermula pada Januari 2018, tak lama setelah Rasnal dilantik menjadi Kepala SMAN 1 Luwu Utara. Sejumlah guru honorer datang mengadu karena honor mengajar selama sepuluh bulan pada 2017 belum dibayarkan. “Saya kaget sekali. Bagaimana bisa mereka tidak dibayar selama itu? Padahal mereka tetap mengajar,” kenangnya.
Sebagai kepala sekolah baru, ia menanyakan ke bendahara dan staf Bantuan Operasional Satuan Pendidikan (BOSP). Dalam Petunjuk Teknis (Juknis) dana BOSP, hanya guru yang memenuhi empat syarat terdaftar di Dapodik, memiliki NUPTK, SK Gubernur, dan akta mengajar yang berhak menerima honor. Dari sepuluh guru itu, hanya satu yang memenuhi kriteria.
Kesepakatan Komite Sekolah
“Saya tidak tega melihat mereka tetap mengajar tanpa bayaran. Ini soal kemanusiaan,” ujarnya. Rasnal menggelar rapat dewan guru untuk mencari solusi, kemudian melibatkan komite sekolah dan orangtua siswa pada 19 Februari 2018. Rapat itu melahirkan kesepakatan: sumbangan sukarela Rp20 ribu per bulan per siswa, dikelola komite untuk membantu honor guru. "Semua orang tua setuju. Tidak ada paksaan, tidak ada yang menolak. Komite sendiri yang mengetuk palu,” kata Rasnal.
Dana komite itu membuat sekolah bergeliat. Guru kembali bersemangat, lingkungan sekolah lebih terawat, dan kegiatan belajar mengajar meningkat. “Saya melihat perubahan nyata. Sekolah hidup kembali,” ujarnya.
Terjadi Pungli dan Pemecatan
Dianggap sebagai Pungli Pandemi 2020 menjadi awal badai baru. Muncul laporan dari sebuah LSM yang menilai sumbangan orang tua itu sebagai pungutan liar (pungli). Laporan diterima kepolisian, dan Rasnal menjadi pihak pertama yang dimintai keterangan. Ia menjalani pemeriksaan dan persidangan hingga akhirnya divonis bersalah oleh Mahkamah Agung.
Rasnal menjalani hukuman satu tahun dua bulan, delapan bulan di penjara dan sisanya tahanan kota. “Saya tidak punya uang 50 juta untuk membayar denda, jadi saya jalani semuanya,” katanya, tersenyum getir.

Kembali Mengajar Tanpa Gaji
Setelah bebas pada 29 Agustus 2024, Rasnal kembali mengajar di SMA Negeri 3 Luwu Utara. Namun, gajinya tidak lagi masuk ke rekening sejak Oktober 2024. “Saya sudah mengajar, sudah bebas, tapi gaji saya tidak dibayar. Saya bertahan hampir setahun tanpa gaji,” tuturnya. Hingga akhirnya keluar keputusan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) dari Pemerintah Provinsi Sulsel melalui Keputusan Gubernur Sulsel Nomor 800.1.6.2/3973/BKD.
Solidaritas dari Guru dan Orang Tua Murid
Keputusan PTDH ini sontak memicu gelombang keprihatinan dan solidaritas dari berbagai pihak. Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Luwu Utara memimpin aksi damai, menuntut keadilan bagi rekan mereka yang dinilai menjadi korban kriminalisasi atas dasar kebijakan sekolah yang bertujuan mulia.
Aksi itu juga mendukung Drs. Rasnal, M.Pd, guru dari UPT SMAN 3 Luwu Utara yang mengalami nasib serupa. “Guru hari ini berada di posisi yang rentan. Tanpa perlindungan hukum yang jelas, kebijakan sekolah bisa berujung pada kriminalisasi,” ujar Ismaruddin, Ketua PGRI Luwu Utara.
PGRI kemudian mengajukan permohonan grasi kepada Presiden Prabowo Subianto untuk dua guru tersebut. Keduanya diberhentikan tidak hormat berdasarkan keputusan Gubernur Sulsel:
- Drs. Rasnal, M.Pd, Keputusan Gubernur Sulsel Nomor 800.1.6.2/3973/BKD
- Drs. Abdul Muis, Keputusan Gubernur Sulsel Nomor 800.1.6.4/4771/BKD
Orang tua murid juga turut memberikan dukungan. Mereka membantah adanya unsur paksaan dalam pembayaran dana komite. Mereka menegaskan iuran tersebut dibayar secara sukarela dan merupakan hasil kesepakatan bersama orang tua siswa serta pihak komite sekolah.
“Pembayaran iuran itu adalah kesepakatan orang tua. Kami tidak keberatan dengan iuran itu, karena anak kami yang dididik,” ujar Akramah, orang tua siswa SMAN 1 Luwu Utara yang turut membayar dana komite pada 2018. Ia juga memastikan dalam rapat komite, seluruh orang tua siswa sepakat untuk membayar iuran tersebut. “Saat rapat pun tidak ada orang tua yang menolak. Semua sepakat karena itu untuk membantu sekolah,” ujarnya.
Para orang tua berharap pemerintah dapat meninjau ulang keputusan pemecatan terhadap dua pendidik tersebut. “Kami tidak melawan putusan pemerintah, tapi mungkin perlu ditinjau ulang karena ini bukan korupsi. Dana itu bukan uang negara, melainkan sumbangan sukarela dari orang tua siswa. Kami meminta Bapak Presiden memperhatikan masalah ini dan mengembalikan hak dua guru yang dipecat,” harapnya.