
Paradoks Eco Governance di Indonesia: Kekayaan Alam dan Tantangan Tata Kelola Lingkungan
Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan alam yang melimpah, paru-paru dunia, serta pusat keanekaragaman hayati tropis. Namun, berbagai indikator kualitas lingkungan menunjukkan tren yang sebaliknya. Deforestasi masih terjadi, pencemaran sungai meningkat, kualitas udara memburuk, dan krisis sampah menjadi ancaman bagi kota-kota besar. Inilah paradoks eco governance di Indonesia: negara yang kaya sumber daya alam tetapi rapuh dalam tata kelola lingkungannya.
Kebijakan Lingkungan Jadi “Pilihan untuk Tidak Bertindak”
Thomas R. Dye (2008) menyatakan bahwa kebijakan publik adalah apa pun yang pemerintah pilih untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Artinya, ketidakmampuan pemerintah mengambil keputusan—atau memilih tidak bertindak—merupakan kebijakan itu sendiri. Dalam konteks lingkungan hidup, paradoks Indonesia muncul ketika non-action pemeruntah memberikan dampak lebih besar dari kebijakan yang diambil. Contohnya:
- Lambannya penegakan hukum terhadap perusakan hutan.
- Inkonsistensi evaluasi izin lingkungan.
- Pembiaran terhadap pencemaran industri yang berlangsung bertahun-tahun.
Ketika pemerintah pusat dan daerah tidak mengeksekusi kebijakan secara konsisten, maka ketidakpastian itulah yang menciptakan ruang bagi eksploitasi berlebih dan kerusakan yang makin parah.
Eco Governance dan Manajemen Pelayanan Publik
Dalam teori Public Service Management, pelayanan publik tidak hanya terbatas pada perizinan atau administrasi dasar, tetapi juga mencakup penyediaan lingkungan hidup yang aman dan sehat bagi seluruh warga. Pelayanan publik modern harus berorientasi pada keberlanjutan (sustainability), kepentingan jangka panjang, serta perlindungan terhadap generasi mendatang. Ketika kualitas lingkungan menurun, maka pelayanan publik bergerak mundur. Udara kotor adalah kegagalan manajemen pelayanan publik. Sungai tercemar adalah kegagalan perlindungan publik. Banjir yang berulang adalah indikator buruknya tata kelola pelayanan dasar yang berkaitan dengan drainase, tata ruang, dan pengawasan pembangunan.
Sayangnya, orientasi pelayanan publik di Indonesia masih berkutat pada aspek administratif, bukan ekologis. Pemerintah sering mengukur keberhasilan dari kecepatan pelayanan izin, bukan dari kualitas dampak lingkungannya. Padahal dalam kerangka ecological public service, keberhasilan justru diukur dari seberapa besar risiko lingkungan dapat ditekan.
Good Governance Belum “Good” Lingkungan
Prinsip good governance menurut UNDP (1997) mencakup transparansi, akuntabilitas, rule of law, efektivitas, responsivitas, dan partisipasi publik. Semua prinsip ini sangat relevan bagi sektor lingkungan. Namun dalam praktiknya, eco governance Indonesia masih menghadapi lima masalah utama:
-
Transparansi rendah
Informasi polusi, peta hutan, data IUP, dan pemantauan kualitas udara tidak mudah diakses publik. Transparansi yang terbatas memicu ketidakpercayaan dan membuka peluang manipulasi. -
Akuntabilitas lemah
Banyak kasus pencemaran tidak disertai hukuman tegas. Perusahaan yang merusak lingkungan sering hanya mendapat teguran administratif. -
Penegakan hukum tidak konsisten
Penegakan rule of law di sektor lingkungan masih sering kalah oleh kepentingan ekonomi kelompok tertentu. -
Responsivitas lambat
Banjir, longsor, dan pencemaran sungai sering ditangani setelah terjadi bencana, bukan dengan pencegahan. -
Partisipasi publik minim
Masyarakat jarang dilibatkan dalam penyusunan AMDAL. Protes warga terhadap pencemaran sering diabaikan.
Tanpa menguatkan prinsip good governance, eco governance Indonesia akan terus berada dalam lingkaran dilematis: kebijakan ada, regulasi lengkap, tetapi implementasi gagal.
Otonomi Daerah dan Fragmentasi Tata Kelola Ekologi
Otonomi daerah membawa peluang besar bagi inovasi lingkungan, tetapi juga melahirkan tantangan baru. Desentralisasi wewenang pengelolaan lingkungan sering menciptakan fragmentasi kebijakan antar daerah. Contohnya, ada daerah yang tegas menindak pencemar sungai, tetapi daerah tetangga justru memberi izin industri yang limbahnya mengalir ke sungai yang sama. Pemerintah daerah cenderung mengejar PAD (Pendapatan Asli Daerah) melalui izin eksploitasi tambang atau perkebunan, sementara kualitas lingkungan menjadi korban. Koordinasi pusat-daerah lemah, sehingga evaluasi lingkungan tidak berjalan utuh dari hulu ke hilir. Dalam perspektif Dye, ini adalah contoh ketika pemerintah memilih not to act secara terintegrasi. Ketidaksinkronan kebijakan pusat dan daerah menghasilkan paradoks governance: otonomi mendorong pertumbuhan ekonomi lokal tetapi sekaligus meningkatkan kerentanan ekologis.
Regulasi Ada, Implementasi Tersendat
Indonesia memiliki regulasi lingkungan yang cukup lengkap yakni UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan berbagai Peraturan Pemerintah terkait baku mutu, tata ruang, dan AMDAL. Namun masalah terbesar bukan pada regulasi, melainkan pada implementasi. Banyak AMDAL disusun tanpa partisipasi publik memadai, pengawasan lapangan minim, dan sanksi administratif lebih dominan daripada sanksi pidana. Ketika regulasi ada tetapi tidak ditegakkan, maka yang terjadi adalah paradoks hukum: kuat di atas kertas, tetapi lemah di lapangan.
Eco Governance yang Lebih Tegas dan Adaptif
Untuk mengakhiri paradoks eco governance, beberapa langkah strategis diperlukan:
-
Memperkuat political will
Tanpa komitmen politik yang tegas, penegakan lingkungan hanya menjadi formalitas. Pemerintah harus menempatkan perlindungan lingkungan sebagai core policy, bukan sekadar pelengkap pembangunan. -
Digitalisasi dan transparansi lingkungan
Data kualitas udara, kualitas sungai, lokasi tambang, peta hutan, dan status izin harus terbuka dalam satu portal nasional yang mudah diakses publik. -
Reformasi pelayanan publik berbasis ekologi
Izin usaha harus berorientasi pada dampak lingkungan jangka panjang. Pelayanan cepat tidak berarti pelayanan asal-asalan. -
Harmonisasi kebijakan pusat-daerah
Kementerian terkait perlu menyatukan standar baku mutu, pengawasan tambang, dan evaluasi AMDAL sehingga tidak ada daerah “longgar” yang merusak daerah lain. -
Penegakan hukum yang konsisten
Pencemar lingkungan harus ditindak tanpa kompromi. Hukum yang tegas adalah bentuk pelayanan publik terbaik.
Penutup
Paradoks eco governance di Indonesia lahir bukan karena kurangnya regulasi, tetapi lemahnya implementasi dan fragmentasi kebijakan antarwilayah. Dengan memperkuat prinsip good governance, menata pelayanan publik berbasis ekologi, dan membangun sinergi pusat–daerah, Indonesia dapat keluar dari paradoks ini dan menuju tata kelola lingkungan yang lebih sehat, adil, dan berkelanjutan. Lingkungan hidup bukan sekadar isu teknis, tetapi barometer kualitas negara dalam melindungi warganya. Dan pada titik inilah masa depan eco governance Indonesia ditentukan. Wallahualam bishawab.