Eks Direktur Utama ASDP Ira Puspadewi Bebas dari Rutan KPK
Eks Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) Ira Puspadewi telah resmi dibebaskan dari Rutan KPK, pada Jumat (28/11/2025). Bersama dengan dua pejabat ASDP lainnya, yaitu Muhammad Yusuf Hadi dan Harry Muhammad Adhi Caksono, Ira mendapatkan rehabilitasi berkat kebijakan yang diberikan oleh Presiden Prabowo Subianto.
Rehabilitasi adalah proses pemulihan harkat, martabat, serta hak-hak seseorang setelah ia dinyatakan tidak bersalah oleh pengadilan atau sebelumnya menjalani pidana tetapi kemudian mendapatkan penghapusan atau pemulihan hak tertentu berdasarkan ketentuan hukum. Sebelumnya, Ira Puspadewi divonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan karena terbukti bersalah dalam kasus korupsi terkait proses kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN) tahun 2019-2022.
Setelah resmi bebas dari Rutan KPK, Ira Puspadewi mengaku ingin langsung bertemu dengan keluarga. Dalam keterangan persnya seusai keluar dari Rutan KPK, Jumat (28/11/2025), Ira menyampaikan, "Setelah hari ini, kami mau ketemu keluarga."
Ketika ditanya apakah ada rencana untuk mengajukan pemulihan nama baik dan kerugian akibat kasus korupsi yang menjeratnya, Ira menyatakan masih menunggu proses hukum selanjutnya. Terkait detail proses hukum kasus dugaan korupsi proses kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT JN, Ira menyerahkan kepada tim kuasa hukum.
"Ini kita menunggu proses hukum berikutnya, dan ini juga akan dilaksanakan secara lebih detail oleh kuasa hukum," jelas Ira. Ia juga menegaskan bahwa saat ini adalah momen dimana dirinya ingin mengungkapkan apresiasi dan terimakasih atas kebebasannya. Oleh karena itu, ia tak ingin berkomentar banyak soal proses hukum kasus korupsi yang menjeratnya.
Penyidikan terhadap Mantan Pemilik PT JN Tetap Berlanjut
Meski Ira Puspadewi telah mendapatkan rehabilitasi, penyidikan terhadap Adjie, mantan pemilik PT Jembatan Nusantara (JN), tetap berlanjut. Menurut Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, meskipun sudah menerima surat keputusan rehabilitasi untuk Ira dkk, KPK akan tetap melanjutkan penyidikan terhadap satu terdakwa lain dalam perkara ASDP ini.
Adjie menjadi satu-satunya tersangka kasus ASDP yang tidak mendapat rehabilitasi. "Terkait perkara ASDP, tentu masih ada tersangka dalam penyidikan ini, saudara Adjie pemilik PT JN, dan ini masih berprogress penyidikannya," tutur Budi.
Diketahui, Adjie sendiri menjadi tahanan rumah sejak 21 Juli 2025 lalu karena kondisi kesehatannya tidak memungkinkan untuk ditahan di Rutan KPK. Ia sebenarnya sudah ditahan oleh KPK pada 16 Juni 2025, tetapi tak lama setelahnya, ia dilarikan ke rumah sakit, sehingga penahanannya dibantarkan.
Lebih lanjut Budi mengatakan, KPK akan terus mengupayakan pemulihan kerugian negara yang ditimbulkan dalam perkara tersebut, sesuai sangkaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. "Sehingga, dalam dugaan tindak pidana korupsi dengan sangkaan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor tentang kerugian keuangan negara, tentu kita terus berupaya bagaimana pemulihan kerugian negara atau asset recovery atas kerugian negara yang ditimbulkan dalam perkara ini bisa tetap optimal," tandas Budi.
Ada Dissenting Opinion dalam Vonis Ira Puspadewi dkk

Sidang pembacaan vonis terhadap Ira Puspadewi dkk yang digelar pada Kamis (20/11/2025) di PN Jakarta Pusat, diwarnai dissenting opinion atau pendapat berbeda dari mayoritas atau pendapat hakim yang berbeda dalam suatu putusan.
Dalam sidang, majelis hakim memutuskan para terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 3 jo. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Majelis hakim menyatakan perbuatan para terdakwa menguntungkan Adjie dan PT Jembatan Nusantara melalui nilai akuisisi Rp 1,272 triliun yang dinilai overpriced, pengalihan beban utang PT JN sebesar Rp583 miliar kepada PT ASDP, penundaan docking 12 kapal sehingga biaya perbaikan Rp21,8 miliar menjadi beban PT ASDP, serta pembayaran 11 kapal afiliasi senilai Rp 380 miliar.
Namun dalam sidang tersebut, Ketua Majelis Hakim Sunoto menyampaikan dissenting opinion-nya, dengan menilai seharusnya Ira mendapat vonis lepas atau onslag (melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum). Sunoto menilai perbuatan Ira dan kawan-kawan merupakan sebab akibat dari keputusan bisnis yang dilindungi oleh business judgement rule, karena dilakukan dengan itikad baik.
Hal tersebut terbukti dari due diligence komprehensif senilai Rp 11,2 miliar dengan 7 konsultan profesional, dilakukan dengan kehati-hatian memadai dengan persetujuan berlapis dari Komisaris, RUPS, dan Menteri BUMN, tidak ada benturan kepentingan, serta hasil bisnis positif dengan kontribusi pendapatan Rp 2,1 triliun dan peningkatan pangsa pasar 45,65 persen.
Artinya, mereka tidak bisa dipidanakan meski keputusan bisnis mereka membawa dampak buruk bagi perusahaan milik negara. Adapun Business Judgement Rule merupakan konsep yang direksi perseroan tidak dapat dibebankan tanggung jawab secara hukum atas keputusan yang diambilnya walaupun keputusan tersebut menimbulkan kerugian bagi perusahaan, sepanjang keputusan itu dilakukan dengan iktikad baik, tujuan, dan cara yang benar, dasar yang rasional, dan kehati-hatian.
Selain itu, dissenting opinion Ketua Majelis Hakim Sunoto mencerminkan pengakuan soal ketiadaan niat jahat atau mens rea. Menurut Sunoto, keputusan bisnis para terdakwa dinilai tidak memenuhi unsur pidana karena tidak ditemukan iktikad jahat dan maksud untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Ira bersama dua rekannya sendiri selaku terdakwa juga telah dinyatakan tidak menikmati uang hasil korupsi.
Namun, suara Sunoto kalah dengan dua hakim lainnya sehingga Ira Puspadewi dkk dinyatakan bersalah. Perbuatan ketiga terdakwa disebut sebagai kelalaian berat yang berujung pada tindakan korup, berupa memperkaya orang lain atau suatu korporasi.
“Perbuatan terdakwa bukan kesalahan murni untuk melakukan korupsi, tapi kelalaian berat tanpa kehati-hatian dan iktikad baik dalam prosedur dan tata kelola aksi korporasi PT ASDP,” ujar Hakim Anggota Nur Sari Baktiana dalam sidang pembacaan vonis, Kamis pekan lalu.