Jejak Sejarah Hotel Des Galeries Jakarta yang Terlupakan

Erlita Irmania
0

Sejarah dan Kondisi Hotel Des Galeries Batavia

Di tengah keramaian lalu lintas di persimpangan Jalan Hayam Wuruk dan Jalan Juanda, Gambir, Jakarta Pusat, berdiri sebuah bangunan tua dengan gaya kastil yang kontras dengan deretan gedung modern di sekitarnya. Bangunan tersebut adalah Hotel Des Galeries Batavia, salah satu saksi bisu sejarah Jakarta yang kini nasibnya menggantung.

Dibangun pada tahun 1930 oleh seorang pengusaha Arab di Batavia, Hotel Des Galeries menjadi simbol kebanggaan komunitas non-Eropa pada masa kolonial. Hotel ini dirancang oleh arsitek ternama E.G.H. Cuypers, sosok yang juga dikenal lewat berbagai karya arsitektur monumental di Hindia Belanda.

Kelahiran hotel ini tak lepas dari kisah diskriminasi di Hotel des Indes, hotel elite di masa itu yang menolak tamu pribumi dan Arab. Sebagai bentuk perlawanan, sang pendiri mendirikan Hotel Des Galeries di kawasan strategis Harmoni jantung kota lama Batavia.

“Hotel ini dulu terkenal sangat mewah. Lampu-lampunya terang, tamunya banyak orang Belanda dan pejabat. Orang sini nyebutnya ‘hotel bule’,” kenang Lilis (64), warga lama kawasan Harmoni, kepada Erfa News, Kamis (13/11/2025).

Namun, kejayaan itu tak bertahan lama. Seiring perubahan zaman, bangunan tersebut berganti nama menjadi Hotel Gayatri, kemudian berpindah tangan ke Bank Arta Prima pada 1991, dan terakhir diketahui dikelola pihak swasta pada 2013.

Kini, hampir seabad sejak pertama kali dibangun, Hotel Des Galeries tampak lusuh, dindingnya dipenuhi lumut dan grafiti, sebagian jendelanya pecah, dan beberapa bagian bangunan mulai retak.

Masih Belum Diakui sebagai Cagar Budaya

Meski memiliki nilai sejarah yang besar, bangunan ini belum masuk daftar resmi Cagar Budaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

“Hotel tersebut bukan milik Pemprov, tapi milik swasta. Statusnya masih sebagai Objek yang Diduga Cagar Budaya (ODCB) dan pernah dikaji Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) pada 2019,” ujar Linda Enriany, Kepala Bidang Perlindungan Kebudayaan Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, kepada Erfa News.

Linda menjelaskan, penetapan status Cagar Budaya memerlukan proses panjang, termasuk kajian historis, arsitektural, dan kepemilikan lahan. Karena bukan milik pemerintah, kewenangan pengelolaan berada di tangan swasta, meski Pemprov tetap memiliki peran dalam perlindungan dan rekomendasi kebijakan.

Hal senada disampaikan Kartika Andam Dewi, Ketua Subkelompok Penggunaan Bangunan Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan (Citata) DKI Jakarta.

“Sejauh ini belum terdapat permohonan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) pada lokasi dimaksud,” ujarnya singkat melalui pesan tertulis.

Kondisi Memprihatinkan

Pantauan Erfa News di lokasi menunjukkan, bangunan berwarna putih gading itu kini mengalami kerusakan di berbagai sisi. Cat dinding terkelupas, memperlihatkan lapisan bata merah dan beton tua. Bercak jamur dan noda kehitaman menebar di bagian bawah dinding, menunjukkan minimnya perawatan.

Menara runcing dan dinding bergaya benteng yang menjadi ciri khas arsitektur kastilnya tampak retak dan ditumbuhi tanaman liar. Sebagian atap bangunan utama telah rusak dan berlubang, mempercepat proses pelapukan akibat air hujan.

Jajaran jendela lengkung yang dulu memancarkan kemewahan kini kusam, sebagian pecah atau hilang. Di bagian depan hanya tersisa papan usang bertuliskan “Restoran Istana Harmoni”, meski tak ada aktivitas di dalamnya.

“Saya di sini sejak 2010. Sejak saat itu tidak ada lagi tamu, peneliti, atau sejarawan yang boleh masuk. Semua pintu sudah dikunci, lift tidak berfungsi, dan tangga ditutup pagar besi,” kata seorang penjaga bangunan yang enggan disebut namanya.

Sejak hotel tak lagi beroperasi, bangunan itu sering disalahgunakan untuk aksi vandalisme.

“Masih ada anak muda yang naik lewat depan untuk nyoret-nyoret dinding pakai cat semprot,” ujar dia.

Menurutnya, sempat ada rencana perbaikan pada 2021, namun terhambat pandemi Covid-19 dan pembangunan proyek MRT di kawasan tersebut.

Fungsi Berubah

Kini, fungsi bangunan bersejarah itu berubah. Bagi warga sekitar, bekas Hotel Des Galeries telah menjadi bagian dari lanskap keseharian yang tak lagi istimewa.

“Sekarang cuma jadi tempat parkir ojek atau tempat orang berteduh. Kadang ada pemulung tidur di situ. Kalau malam agak serem juga,” ujar Ipul (33), pengemudi ojek daring yang mangkal di depan bangunan.

Meski begitu, bagi para pengemudi, bangunan tua itu sudah menjadi semacam penanda arah.

“Kita sering bilang ke penumpang, ‘tunggu di depan bangunan kastil tua yang banyak grafitinya’. Jadi malah jadi patokan,” ujarnya sambil tertawa.

Lilis, warga yang sudah empat dekade tinggal di sana, hanya bisa berharap bangunan itu mendapat perhatian lebih.

“Sayang banget kalau dibiarkan. Arsitekturnya bagus, kayak bangunan Eropa. Kalau dijadiin museum atau galeri, bagus banget buat wisata sejarah. Tapi ya, enggak ada yang ngurus,” ujar dia.

Potensi Revitalisasi

Dikutip dari Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia (2021) karya Artaxerxes Christopher Lee, Jessica Leony, Lydia Dwianti Putri, dan Naniek Widayati Priyomarsono, pelestarian Hotel Des Galeries sangat penting bagi kualitas visual dan ekonomi kawasan Harmoni.

“Pelestarian sepatutnya dilakukan agar Hotel Des Galeries tidak hanya menjadi bagian sejarah, tetapi juga berfungsi bagi masyarakat dan meningkatkan kualitas kawasan,” tulis para peneliti.

Dalam kajiannya, para ahli menyarankan revitalisasi yang adaptif memperbaiki eksterior dan interior bangunan, menjadikan lantai dasar sebagai area kuliner atau galeri seni, dan memanfaatkan lantai atas sebagai museum atau hotel butik bersejarah.

Langkah semacam ini diharapkan tidak hanya menjaga nilai arsitektur, tetapi juga menghidupkan kembali kawasan Harmoni yang kaya warisan kolonial namun mulai terpinggirkan oleh modernisasi.

Menunggu Tindakan Nyata

Keberadaan Hotel Des Galeries kini menjadi pengingat akan rapuhnya jejak sejarah di tengah percepatan pembangunan kota Jakarta. Bangunan yang dahulu menjadi simbol kebanggaan kini berdiri dalam diam, diapit hiruk pikuk lalu lintas dan deru proyek modern.

Tanpa perhatian serius dari pemerintah maupun pemilik, bangunan ini berisiko hilang bukan karena waktu, tetapi karena abai.

“Kalau semua bangunan tua dirobohkan, habis sudah sejarah Jakarta,” kata Lilis pelan, menatap bangunan kastil yang dulu menyala terang di masa mudanya.

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
3/related/default