BOGOR, Erfa News
Di bawah terik matahari yang membuat aspal seakan-akan menguap, badut-badut berkostum karakter kartun bergoyang pelan di tengah simpang Kedung Halang, Kota Bogor. Dari kejauhan, sosok badut-badut berkostum karakter kartun itu tampak seperti makhluk berwarna cerah yang membawa tawa untuk anak-anak. Namun ketika didekati, terlihat jahitan besar di sisi kepala kostum, tambalan di bagian belakang yang mulai robek, serta gerakan tubuh yang tak lagi selincah badut panggung profesional. Itu bukan pertunjukan. Itu pekerjaan. Di balik kepala kostum yang lusuh itu, berdiri Soleh (41), ayah satu anak, yang setiap hari berjoget kecil di lampu merah demi membawa pulang uang untuk makan.
“Pekerjaan saya setiap hari ngebadut dari jam 07.00 WIB sampai jam 14.00 WIB, kadang jam 15.00 WIB,” kata Soleh saat ditemui Erfa News, Jumat (14/11/2025). Sehari-harinya, Soleh hanya berpindah tempat, bukan berganti pekerjaan. Dari satu lampu merah ke lampu merah lainnya. Kadang, ketika suntuk berada di rumah, ia kembali turun ke jalan, bukan karena ingin bekerja lebih, tetapi karena diam di rumah tak menghasilkan apa-apa.
Di Bogor, kehadiran badut jalanan mungkin dianggap biasa. Namun, bagi mereka yang hidup di balik kostum itu, hari-hari bukan sekadar menunggu lampu merah berubah warna. Ada kehidupan yang berjalan. Ada keluarga yang ingin mereka bahagiakan meski diri sendiri tak selalu cukup bahagia.
Pekerjaan Terakhir yang Tersisa
Soleh tidak langsung terjun menjadi badut. Dulunya ia pernah bekerja sebagai satpam, tetapi pekerjaan malam membuatnya tak kuat. “Karena ini, saya tuh enggak kuatnya kerja malamnya ini.” “Dari jam tujuh malam sampai jam tujuh pagi lagi. Kalau kerja malam tuh, dari jam dua malam, patroli keliling-keliling,” sambungnya. Setelah itu, ia sempat menjadi sopir pribadi untuk seorang majikan di Depok, Jawa Barat. Ia bahkan dibuatkan SIM C dan SIM A. Biayanya mencapai Rp 1.400.000, semuanya ditanggung majikannya. Namun, pekerjaan itu pun tak bertahan lama. “Karena suruhannya tuh tegas gitu, kadang saya tidur, pintu dikunci. Pernah diledek gini, ‘Soleh, kenapa kamu pintu dikunci kayak banyak uang aja?’” kisahnya. Ia bertahan menjadi sopir pribadi selama dua bulan sampai akhirnya menyerah. Suara bentakan bertubi-tubi membuatnya tak sanggup lagi untuk meneruskan pekerjaan tersebut. “Kedua kalinya saya disuruh beli makanan. Sentak-sentak gini. Yaudah, akhirnya saya juga emosi. SIM saya lemparin ke meja,” ujar dia. Setelah itu, tak ada banyak pilihan pekerjaan yang bisa didapat. Dengan ijazah hanya sampai SD dan tanpa modal untuk membuka usaha, Soleh kembali ke pekerjaan yang dulu sempat dicobanya, menjadi badut. “Udah gitu sekarang pangkalan ojek udah enggak ada. Nah ini pilihan yang terakhir, ngebadut,” katanya.
Kehidupan di Balik Kostum Lusuh
Menjadi badut di lampu merah bukan pekerjaan yang ramah untuk tubuh. Panas dalam kostum menjadi musuh utama. Hujan lebih menyiksa lagi. Kepala kostum Soleh sudah robek dan penuh tambalan sehingga harus ia lindungi dari air. “Kalau kepanasan, saya jalanin. Kalau hujan, kemarin aja hujan, saya berhenti, saya pulang. Karena kenapa? Kepala badutnya udah robek-robek,” ujarnya. Kostum yang dipakai bukan miliknya. Ia menyetor setiap minggu. Dulu Rp 130.000, sekarang turun menjadi Rp 100.000 karena kualitas kostum sudah semakin rusak. “Orang anak kecil aja Sabtu, Minggu ngeliatnya kayaknya udah agak segen,” ujarnya pelan. Penghasilan yang didapat Soleh tak pasti. Jika bagus, terkadang itu membuatnya ingin pulang lebih cepat. “Kadang-kadang dapet Rp 100.000, satu mobil,” katanya. “Tapi kalau enggak ada yang ngasih gede kayak gitu, Rp 60.000,” ujarnya. Uang yang didapat digunakan untuk makan, ongkos rumah, dan membantu istri. Untungnya, anak semata wayangnya kini sudah bekerja di Jakarta. Namun dulu, saat sang anak masih sekolah, Soleh harus mencari uang dengan cara apa pun selagi bukan tindak kejahatan. “Dulu sebelum badut, saya sempat jadi Pak Ogah,” kenangnya. Ia pernah ditertibkan Satpol PP pada 2023. Dibawa ke kantor, diminta menunjukkan KTP dan SIM. Namun, ia tetap kembali ke jalan karena tak ada tempat lain untuk mencari uang halal.
Warga yang Tak Selalu Ramah
Tak semua orang ramah terhadap keberadaan badut jalanan. Soleh mengakui itu tanpa marah, hanya pasrah. “Kadang-kadang perlakuan orang ada yang baik, ada yang enggak. Kadang-kadang ada yang sombong, tapi saya mah ikhlas aja. Yang penting saya kan menghibur. Bukannya saya pungli, bukannya minta-minta,” kata dia. Ia melambaikan tangan kepada setiap mobil, kadang hanya dibalas anggukan kecil, kadang tak dipedulikan, kadang diberi uang oleh anak kecil yang tersenyum malu-malu. “Yang penting saya joget-joget. Saya gini-gini, dadah-dadahin. Terus kadang-kadang yang bawa mobil dia angkat tangan, ya udah enggak apa-apa, berarti bukan rezeki kita. Jadi enggak boleh maksa,” ujarnya. Soleh tahu betul bahwa pekerjaannya saat ini dipandang rendah. Namun, baginya ini cara bertahan hidup, satu-satunya yang tersisa.
Irma: Badut Perempuan yang Menyimpan Luka Diam-diam
Tak jauh dari lokasi Soleh biasa mangkal, ada seorang badut perempuan yang tak kalah kuat. Namanya Irma (51), seorang ibu dua anak yang mencoba mempertahankan hidup keluarga di balik kostum tebal yang membuatnya berkeringat. “Awalnya bukan pilihan,” katanya lirih. “Saya dulu jualan kue keliling. Tapi sejak pandemi itu, sepi banget modal habis. Suami juga kerjanya serabutan. Terus ada teman yang nawarin jadi badut karena katanya lumayan bisa buat makan harian. Ya akhirnya saya coba,” kata Irma. Ia mengaku pernah bekerja di pabrik garmen sampai akhirnya di-PHK karena pabrik tutup. Usianya yang tak lagi muda membuatnya sulit diterima di tempat lain. Ketika anaknya sakit dan membutuhkan obat, Irma merasa buntu karena hanya punya uang belasan ribu rupiah. “Waktu itu saya benar-benar enggak tahu harus apa. Itu yang bikin saya nyerah,” ungkapnya. Lalu ia memilih jalan yang sama dengan soleh, yakni menjadi badut.
Berkeringat di Balik Topeng
Irma mulai bekerja sekitar pukul 11.00 WIB dan bertahan hingga pukul 16.00 WIB. Panas menjadi musuh terberatnya. “Yang paling berat itu panas ya, di dalam kostum rasanya ahh...” ucap dia sambil menghela napas. Sehari-hari, uang yang didapat Irma dari jalan tak menentu. “Sehari paling dapat Rp 40.000–Rp 70.000. Kadang cuma Rp 20.000 kalau sepi. Ya nggak cukup sih, tapi mau gimana,” ucapnya. Uang yang didapat Irma gunakan untuk membeli bahan makanan, membayar listrik token, ongkos sekolah anak, dan membayar utang. Irma punya dua anak, satu duduk di bangku SMP, satunya lagi SD. Mereka belum benar-benar tahu pekerjaannya. “Saya bilangnya ibu kerja di jalan, ngamen kostum,” katanya sambil tersenyum pahit.
Antara Kasih dan Cuek
Persis seperti Soleh, Irma sering merasakan perlakuan warga yang campur aduk. “Ada yang baik ada yang cuek, kadang yang ngasih itu ibu-ibu juga, mereka bilang kasihan. Tapi paling sering orang cuma lihat sebentar terus jalan,” ungkap dia. Namun, hal itu tak membuatnya berkecil hati karena ia selalu kembali besok dan besoknya lagi. “Yang bikin saya bertahan itu anak-anak, selama mereka bisa makan, saya kuat,” kata dia. Jika boleh memilih, Irma tidak ingin terus berdiri di bawah matahari dengan kostum tebal. “Saya ingin buka warung kecil. Bedeng aja enggak apa-apa, yang penting enggak di jalan,” ujarnya. Irma sangat ingin keluar dari pekerjaan sebagai badut, tetapi kesempatan untuk bekerja lebih baik nyaris tak pernah datang. Ia berharap ada bantuan dari pemerintah untuk orang sepertinya. “Kalau pemerintah kasih kerjaan atau pelatihan, saya mau banget, tapi ya harus ada uang makan. Soalnya banyak yang enggak ikut pelatihan karena enggak bisa ongkos,” ujar Irma.
Antara Hiburan dan Ketidaknyamanan
Di tengah kerasnya kehidupan para badut jalanan, suara warga yang sehari-hari melintasi persimpangan juga memperlihatkan betapa keberadaan mereka menimbulkan perasaan yang bercampur aduk. Banyak yang iba, beberapa merasa terhibur, sebagian lain merasa was-was jika interaksi terlalu dekat. Erni (41), seorang pengguna jalan yang hampir setiap hari melewati simpang Warung Jambu, Bogor Utara, Kota Bogor, mengaku tak pernah benar-benar mempermasalahkan kehadiran para badut. “Menurut saya biasa aja, kadang menghibur, kadang ya lewat gitu aja. Yang penting mereka enggak ganggu orang lain,” ujarnya. Baginya, kehadiran badut sering kali menjadi kilasan kecil yang mengubah suasana perjalanan, terutama jika ia sedang bersama anak-anak. “Kalau ada receh, saya kasih. Biasanya kalau sama anak-anak, mereka suka senyum lihat badutnya,” tutur Erni. Meski begitu, ia tidak menampik ada momen ketika ia merasa kurang nyaman. “Kalau terlalu dekat atau kayak maksa, ya agak ganggu juga sih,” tambahnya. Pendapat serupa datang dari Juli (25), yang kerap melintasi lampu merah Kedung Halang. Ia menilai para badut sebagai sosok yang “biasa saja” selama tidak meresahkan. “Kadang lucu juga kalau macet sebentar, ada yang pakai kostum nyentrik. Tapi kalau terlalu agresif minta uang, itu yang bikin risih,” katanya. Juli mengaku pernah memberikan uang kecil ketika badut mendekat dengan sopan. Ia melihat sebagian besar dari mereka hanya mencoba bertahan hidup. “Kayaknya karena enggak ada pekerjaan lain. Saya lihat ada yang muda, ada yang sudah tua. Ya ini cara mereka nyari penghasilan,” ucapnya.
Desakan Ekonomi
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Rakhmat Hidayat, menilai kemunculan badut lampu merah tidak bisa dilepaskan dari kondisi ekonomi masyarakat. Pilihan menjadi badut bukan muncul dari kreativitas belaka, melainkan dari keterdesakan hidup. “Ini soal ekonomi, soal pekerjaan, soal pengangguran, soal kemiskinan. Dan mereka melakukan itu untuk bertahan hidup, besok harus makan apa, bisa makan atau enggak gitu ya,” ujarnya. Ia menjelaskan, tekanan ekonomi membuat masyarakat mencari cara apa pun yang paling mungkin menghasilkan uang cepat. Dalam situasi serba sulit, kostum badut, manusia silver, atau pengamen kostum lain menjadi pilihan instan karena modalnya kecil dan tidak membutuhkan keahlian khusus. "Dan ini kan sebenarnya juga dilakukan juga oleh misalnya, keberadaan atau fenomena manusia silver. Kalau yang pengamen biasa udah sering gitu ya, ini kan (badut jalanan) pengamen tapi dengan cara yang berbeda gitu ya," kata dia. Fenomena itu, tambah Rakhmat, bukan hanya terjadi di Bogor, tetapi di banyak kota di Indonesia. Menurut dia, pendekatan penertiban tidak akan menyelesaikan persoalan. Pemerintah justru perlu memetakan kondisi ekonomi para pelaku, mendata siapa saja yang terlibat, dan menawarkan jalur pemberdayaan agar mereka tidak selamanya bergantung pada pekerjaan informal di jalan. "Jadi sebenarnya ketika ekonominya belum membaik, ketika ekonominya masih seperti ini, maka akan muncul, selalu muncul fenomena badut-badut yang lain gitu loh ya," ujar dia.