Kucing di Tengah Ketidakpastian: Ironi Sosial Kita?

Erlita Irmania
0

Di tengah gejolak ekonomi dan ketidakpastian yang melingkupi, sebuah fenomena menarik muncul di Indonesia: semakin banyak orang yang memilih untuk memelihara kucing. Fenomena ini terasa kontras, mengingat memelihara hewan peliharaan, terutama kucing dengan standar perawatan modern, bukanlah hal yang "murah" atau "low maintenance". Namun, tren ini terus berkembang, mengubah kucing dari sekadar hewan peliharaan menjadi jangkar emosional bagi banyak individu.

Kucing: Lebih dari Sekadar Hewan Peliharaan

Pergeseran pandangan terhadap kucing terlihat jelas. Dulu, kucing mungkin hanya dipandang sebagai hewan yang bisa makan dan tidur di sekitar rumah. Kini, para pecinta kucing, atau cat lovers, rela mengeluarkan biaya untuk makanan berkualitas, tempat cakaran khusus, hingga pasir khusus untuk kebutuhan sanitasi. Sikap ini tampak paradoks ketika banyak orang mengeluhkan kondisi ekonomi yang sulit, namun tetap loyal dalam merawat hewan kesayangan mereka.

Perubahan ini menunjukkan bahwa kucing bukan lagi sekadar hewan peliharaan biasa. Ia telah bertransformasi menjadi semacam 'jangkar emosional', sebuah sumber kenyamanan dan stabilitas di tengah dunia yang terasa bergejolak. Fenomena ini bisa jadi merupakan bentuk pelarian emosional, sebuah cara halus bagi manusia untuk mengatasi kecemasan eksistensial di zaman yang penuh ketidakpastian ini.

Lonjakan Populasi dan Pasar Hewan Peliharaan

Data menunjukkan bahwa popularitas kucing di Indonesia mengalami peningkatan signifikan. Laporan Pet Worldwide mencatat lonjakan populasi kucing peliharaan di Indonesia mencapai 137,6% antara tahun 2017 hingga 2022, dengan jumlah mencapai sekitar 5,1 juta ekor pada tahun 2022.

Pertumbuhan populasi ini tidak hanya mencerminkan peningkatan kecintaan masyarakat pada kucing, tetapi juga mendorong pertumbuhan pasar yang unik. Sektor pakan hewan, khususnya untuk kucing, mengalami kenaikan pesat. Mengutip artikel dari petfoodindustry.com, pendapatan ritel pakan hewan di Indonesia naik dari Rp 2,8 triliun pada tahun 2022 menjadi Rp 3,6 triliun pada tahun 2023. Pertumbuhan khusus untuk pakan kucing mencapai 32,2% dalam satu tahun.

Survei Rakuten Insight juga mengkonfirmasi tren ini, dengan 47% pemilik hewan peliharaan di Indonesia memilih kucing sebagai hewan peliharaan utama mereka. Data industri menunjukkan Compound Annual Growth Rate (CAGR) atau pertumbuhan tahunan majemuk sektor pakan hewan di Indonesia sangat besar, mencapai sekitar 24,7% pada periode 2016-2021 menurut laporan IRJEMS. Semua indikator ini menggarisbawahi bahwa memelihara kucing kini telah menjadi bagian dari arus sosial-ekonomi yang lebih besar, bukan sekadar tren sesaat.

Analisis Sosial dan Psikologis: Mengapa Kucing?

Ada beberapa alasan mendalam mengapa kucing menjadi pilihan populer di tengah masyarakat Indonesia, terutama saat krisis.

  • Kebutuhan akan Koneksi Emosional yang Menenangkan: Di era yang penuh ketidakpastian, kebutuhan akan koneksi emosional semakin meningkat. Kucing menawarkan kehadiran yang menenangkan tanpa tuntutan sosial yang besar. Keberadaan mereka yang tenang, sentuhan bulu, dan suara dengkuran (purring) dapat memberikan kelegaan emosional yang sangat dibutuhkan.

  • Pelarian dari Ketidakpastian Ekonomi: Mungkin terdengar kontradiktif, namun memelihara kucing bisa menjadi bentuk pelarian dari kecemasan ekonomi. Di tengah kondisi ekonomi global yang goyah, banyak orang mencari cara agar hidup mereka tetap bermakna. Merawat kucing memberikan semacam kontrol kecil atas keresahan. Kucing adalah sesuatu yang dapat dirawat, diprediksi, dan direspons, berbeda dengan perubahan besar seperti kondisi pekerjaan atau makroekonomi.

  • Simbol Kendali dan Stabilitas: Dalam dunia yang terus berubah secara mendadak (sudden shifting), kucing mewakili sesuatu yang stabil dan dapat dirawat. Merawat kucing membangun rutinitas baru—memberi makan, membersihkan, memeriksakan kesehatan—yang memberikan struktur dalam hidup yang terasa kacau.

Penelitian psikologis menunjukkan bahwa hubungan manusia-hewan bersifat terapeutik. Kehadiran hewan peliharaan dapat mengurangi rasa kesepian, kecemasan, dan stres. Tingkah laku kucing yang terkadang acak juga dapat memperkuat rasa dan makna dalam hidup. Peran mereka kini melampaui sekadar binatang peliharaan.

Perspektif Prof. Rhenald Kasali: Pelarian Emosional di Era Sudden Shift dan BANI

Fenomena pelarian emosional melalui hewan peliharaan ini sangat relevan dengan pemikiran Prof. Rhenald Kasali mengenai perubahan sosial-ekonomi. Ia menekankan bahwa kita hidup di era sudden shift, di mana perubahan terjadi sangat cepat, menggantikan sistem lama dengan model baru. Platform menggantikan produk, ekonomi kepemilikan beralih ke ekonomi berbagi, dan cara kerja serta interaksi manusia berubah drastis. Dalam kondisi seperti ini, banyak orang merasa terlempar ke medan yang belum mereka pahami.

Lebih lanjut, Prof. Kasali menyebut dunia memasuki era BANI (Brittle, Anxious, Non-linear, Incomprehensible). Di era ini, orang akan menghadapi kerapuhan stabilitas (Brittle), kecemasan yang intens (Anxious), perubahan yang tidak linear (Non-linear), dan situasi yang sulit dipahami (Incomprehensible).

Dalam konteks ini, kucing dapat berfungsi sebagai 'penangkap gelombang kecemasan', menawarkan perlindungan emosional ketika dunia terasa tak terduga. Memelihara kucing menjadi bukan hanya tindakan personal, tetapi juga respons kolektif terhadap krisis zaman. Ini adalah cara membangun jangkar mikro di tengah badai makro.

Tantangan dan Manfaat: Sebuah Tinjauan Kritis

Meskipun fenomena ini dapat dilihat sebagai pelarian emosional yang adaptif, penting untuk meninjau dari sudut pandang kritis.

Risiko dan Tantangan:

  • Komersialisasi Hewan: Lonjakan minat dapat memperkuat budaya memandang hewan peliharaan sebagai komoditas emosional. Kucing bisa dilihat hanya sebagai 'alat terapi' yang dapat diperjualbelikan, mengabaikan kesejahteraan mereka demi kebutuhan psikologis dan ekonomi manusia.
  • Beban Finansial dan Tanggung Jawab: Meskipun relatif lebih 'terjangkau' dibanding hewan lain, perawatan kucing yang layak tetap membutuhkan biaya signifikan (makanan, pasir, vaksin, steril, dokter hewan). Jika hanya dianggap sebagai 'pelarian', orang bisa meremehkan tanggung jawab jangka panjangnya.
  • Beban Psikologis yang Berlebihan: Menaruh harapan terlalu besar pada kucing sebagai 'penyelamat' dari kecemasan atau kesepian bisa menjadi tidak realistis. Hewan memiliki keterbatasan, dan harapan bahwa mereka dapat mengobati kecemasan struktural (finansial, pekerjaan) bisa berbahaya bagi kedua belah pihak.
  • Ketimpangan Sosial: Fenomena ini dapat menyoroti ketimpangan sosial. Kebanyakan orang yang memelihara kucing sebagai pelarian mungkin memiliki sumber daya dan ruang yang memadai. Sementara bagi yang berpenghasilan rendah, sekadar memberi makan kucing dua kali sehari sudah merupakan pencapaian. Ini menciptakan dimensi eksklusivitas.

Manfaat Nyata:

Di balik tantangan tersebut, memelihara kucing tetap membawa manfaat signifikan.

  • Penurunan Stres dan Kecemasan: Banyak studi menunjukkan hewan peliharaan membantu menurunkan tingkat stres, kecemasan, dan perasaan kesepian. Pemilik hewan peliharaan cenderung menunjukkan tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi dalam unggahan media sosial mereka.
  • Kesehatan Otak dan Kognitif: Penelitian terbaru menunjukkan bahwa memiliki kucing atau anjing dapat berkontribusi pada kesehatan otak saat menua. Pemilik hewan peliharaan menunjukkan penurunan kognitif yang lebih lambat, kemungkinan karena ikatan emosional, rutinitas perawatan, dan stimulasi sosial yang membangun 'cadangan kognitif'.
  • Pembentukan Komunitas: Kepemilikan hewan peliharaan dapat menciptakan komunitas yang unik dan saling mendukung. Pemilik kucing sering berbagi cerita, tips perawatan, dan membentuk komunitas di media sosial. Ini menjadi ruang sosial baru di mana orang tidak merasa sendirian dalam menghadapi kehidupan.

Kesimpulan: Komitmen, Bukan Sekadar Pelarian

Fenomena memelihara kucing di masa krisis ini jauh dari sekadar tren ringan. Ini adalah strategi manusia modern untuk mengelola kecemasan zaman dan mencari stabilitas kecil di tengah disrupsi besar. Namun, pelarian emosional melalui hewan peliharaan bukanlah solusi total. Ada tanggung jawab moral dan finansial yang menyertai kehadiran teman berbulu ini.

Agar fenomena ini lebih sehat secara budaya, penting untuk menyadari bahwa merawat hewan peliharaan adalah sebuah komitmen, bukan hanya bahan pelarian. Komunitas pemilik hewan perlu mendorong etika kepemilikan melalui adopsi, sterilisasi, dan perawatan kesehatan yang memadai. Diskursus publik harus melihat kepemilikan hewan sebagai bagian dari respons sosial terhadap krisis, bukan hanya simbol status atau alat terapi pribadi. Pada akhirnya, memelihara kucing di era ketidakpastian bisa menjadi tindakan sederhana dengan makna besar, cara manusia menjahit sedikit rasa stabilitas dan kasih dalam hidup yang terkadang terasa tak karuan.

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
3/related/default