
Ledakan di SMAN 72 Jakarta: Mengapa Menyalahkan Gim PUBG Adalah Kesalahan Fatal?
Peristiwa ledakan yang melukai hampir seratus orang di SMAN 72 Jakarta Utara baru-baru ini telah menggemparkan publik dan memicu berbagai reaksi. Sayangnya, dalam upaya mencari jawaban cepat, gim Player Unknown’s Battlegrounds (PUBG) justru menjadi kambing hitam. Pemerintah pusat bahkan berencana membatasi permainan daring tersebut, serta gim lain yang dianggap mengandung unsur kekerasan. Namun, apakah menyalahkan gim semata merupakan solusi yang tepat, atau justru akan merusak potensi industri esports yang sedang berkembang pesat?
Memahami Akar Masalah: Lebih dari Sekadar Paparan Gim
Hasil pemeriksaan awal oleh Densus 88 Antiteror Polri memberikan petunjuk penting. Terduga pelaku ternyata lebih sering mengunjungi forum dan situs gelap (darknet) yang memuat konten kekerasan dan perang. Hal ini mengindikasikan bahwa ada isu yang lebih kompleks dan mendalam dibandingkan sekadar paparan terhadap gim kekerasan. Menyalahkan gim PUBG secara langsung mengabaikan faktor-faktor lain yang lebih krusial dalam penyebaran ideologi ekstrem.
Regulasi Gim: Perlindungan Anak vs. Penanganan Radikalisasi
Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) telah mengkaji unsur kekerasan dalam gim PUBG dan menilai perlunya klasifikasi usia 18+. Hal ini sejalan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Pelindungan Anak di Ranah Digital (PP Tunas), yang mewajibkan penyelenggara sistem elektronik, termasuk gim daring, untuk melakukan verifikasi usia. Regulasi ini juga diperkuat oleh Indonesian Game Rating System (IGRS) yang diresmikan Oktober lalu, yang mengharuskan gim menampilkan klasifikasi usia dan konten secara jelas.
Namun, kedua kebijakan ini masih dalam tahap transisi dan penyesuaian, dengan target penerapan penuh pada tahun 2026. Yang menjadi kendala adalah, kedua regulasi tersebut lebih berfokus pada perlindungan anak, bukan pada akar permasalahan utama, yaitu penanganan radikalisasi dan terorisme di lingkungan sekolah.
Industri Esports Indonesia: Potensi Ekonomi Kreatif yang Terancam
Menghakimi gim PUBG atau gim daring sejenis adalah tindakan yang tidak bijaksana. Gim daring merupakan bagian integral dari industri esports yang bernilai triliunan rupiah. Industri ini telah berkembang pesat di Indonesia, menciptakan ekosistem ekonomi kreatif yang melahirkan banyak atlet esports nasional yang mampu bersaing di kancah internasional.
Bahkan, banyak atlet esports Indonesia yang dikontrak oleh klub luar negeri dengan gaji fantastis. Proses regenerasi atlet esports pun dilakukan sejak usia dini, layaknya pelatihan atlet olahraga konvensional. Namun, seringkali gim yang dipertandingkan di ajang esports global memiliki label 18+. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai kepastian kebijakan pembatasan dari pemerintah.
Semua pihak sepakat bahwa bermain gim secara berlebihan memang tidak baik. Tim esports profesional pun menerapkan jadwal pelatihan yang ketat dan disiplin bagi para atlet mereka. Alih-alih membatasi gim dan konten, pemerintah seharusnya lebih menekankan pada transparansi algoritma rekomendasi konten kepada anak muda, serta mekanisme pelaporan dan moderasi konten radikal.
Dampak Ekonomi Digital dan Solusi Kebijakan yang Tepat
Valuasi pasar gim global saat ini mencapai US$187 miliar atau sekitar Rp3 ribu triliun, dua kali lipat dari gabungan industri film dan musik. Di Indonesia sendiri, pendapatan industri gim pada tahun 2023 mencapai hampir Rp40 triliun. Penegakan kebijakan pembatasan gim yang sporadis dapat merusak iklim investasi di sektor ini. Pemasukan dari pengembangan gim lokal hanya sekitar Rp750 miliar per tahun, atau 2,5% dari pasar Indonesia.
Indonesia perlu berupaya mendatangkan investor besar seperti Sony dan Microsoft untuk transfer pengetahuan (knowledge transfer) dalam pengembangan industri gim. Industri lokal juga masih terhambat oleh akses pendanaan awal untuk dapat bersaing dengan produk asing.
Terkait tragedi ledakan, solusinya harus bersifat ekosistemik, bukan sekadar reaksi insidental terhadap kasus yang terjadi.
Dinamika Panik Moral yang Berulang: Mengkambinghitamkan Gim
Pembatasan gim daring oleh pemerintah pusat kali ini terkesan didorong oleh narasi panik moral, yang mengkambinghitamkan gim sebagai penyebab utama. Padahal, belum ada penelitian empiris yang secara definitif menunjukkan keterkaitan langsung antara bermain gim dan perilaku radikal. Studi yang ada hanya menunjukkan efek gim kekerasan terhadap agresi fisik bersifat minim dan tidak kausal. Artinya, gim dapat memengaruhi emosi dan agresi ringan, tetapi tidak secara otomatis membuat seseorang merakit bom.
Sebagai perbandingan, pemerintah AS pernah mengkambinghitamkan gim daring atas maraknya kasus penembakan di sekolah. Namun, klaim tersebut juga ditolak oleh para peneliti. Artikel di The New York Times pernah menyoroti bahwa jika gim adalah masalah utama, maka hal itu tidak dapat menjelaskan kasus di Jepang, di mana 60% populasinya bermain gim video pada tahun 2016, namun tidak ada kasus penembakan yang terjadi.
Masalah Utama yang Terlewatkan: Algoritma dan Konten Ekstrem
Masalah utama di balik ledakan di SMAN 72 bukanlah paparan gim, melainkan akses ke konten ekstrem di situs gelap dan algoritma rekomendasi yang memperkuatnya. Tindakan pemerintah yang terburu-buru mengintervensi gim tidak menyentuh akar masalah yang cenderung mengabaikan interaksi algoritmik, pengguna, dan ekosistem digital.
Algoritma di media sosial arus utama seperti YouTube seringkali memperkuat keingintahuan radikal. Semakin sering pengguna melihat konten ekstrem, semakin besar kemungkinan mereka disodori konten serupa. Setelah terpapar konten dari algoritma, pengguna mungkin terdorong untuk mengeksplorasi lebih jauh melalui forum komunitas di situs gelap yang minim regulasi dan kontrol. Di sana, mereka dapat dengan mudah menemukan tutorial ilegal merakit bom dan terpapar ideologi ekstrem.
Oleh karena itu, pemerintah seharusnya lebih fokus pada pencegahan radikalisasi digital dan literasi media ekstrem, termasuk penanganan situs gelap. Hal ini memerlukan kolaborasi lintas sektor antara penyelenggara sistem elektronik, sekolah, dan keluarga untuk menciptakan tata kelola digital yang lebih baik.