Penulis adalah Iqbal Almuntarie, Praktisi Infrastruktur Transportasi, Alumnus Sarjana Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung
Wacana Diskon Tarif Tol di Tengah Libur Nataru
Wacana mengenai diskon tarif tol kembali menjadi sorotan menjelang libur Natal dan Tahun Baru (Nataru). Seperti tahun-tahun sebelumnya, mobilitas masyarakat diprediksi meningkat karena adanya hari besar, libur akhir tahun, dan liburan sekolah yang terjadi secara bersamaan. Pemerintah menyiapkan paket stimulus ekonomi untuk sektor transportasi, termasuk diskon tarif jalan tol, kereta api, dan angkutan laut. Dalam beberapa periode sebelumnya, besaran diskon mencapai 10 persen pada Nataru 2024/2025 dan 20 persen pada Lebaran 2025 hanya untuk beberapa ruas jalan tol utama.
Dari sisi pemerintah, kebijakan diskon dilihat sebagai langkah untuk menjaga mobilitas masyarakat, yang merupakan momentum penting dalam pertumbuhan ekonomi di akhir tahun. Di sisi lain, Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) melihat diskon tarif sebagai alat manajemen arus lalu lintas pada momen puncak sekaligus potensi untuk meningkatkan volume lalu lintas. Namun, dalam kondisi tertentu, diskon bisa membantu menggeser pergerakan kendaraan sehingga kepadatan tidak hanya terkumpul pada hari-hari tertentu saja.
Namun, bagi mayoritas pengguna jalan tol, tarif bukanlah satu-satunya faktor yang memengaruhi keputusan mereka. Masyarakat lebih memperhatikan waktu tempuh yang dapat diprediksi, kelancaran arus, dan kenyamanan perjalanan saat memilih antara jalan tol dan jalan arteri. Oleh karena itu, peningkatan volume lalu lintas selama masa liburan biasanya tetap terjadi, baik ada atau tidaknya diskon tarif. Keputusan masyarakat untuk bepergian lebih didorong oleh momentum liburan itu sendiri daripada insentif berupa diskon.
Persimpangan Kepentingan
Dalam konteks ini, muncul persimpangan kepentingan antara upaya pemerintah dalam mendorong perekonomian dengan menjaga mobilitas, serta tugas BUJT dalam memastikan keberlanjutan investasi dan finansial. Industri jalan tol merupakan bisnis jangka panjang dengan masa konsesi hingga 35 hingga 50 tahun. Pendapatan BUJT sangat bergantung pada perkembangan wilayah dan dinamika kondisi ekonomi, yang tidak selalu sejalan dengan target awal saat penyusunan Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT).
Di fase awal operasi, ketika jalan tol masih dalam fase ramp-up, yaitu fase penyesuaian di mana volume lalu lintas umumnya masih di bawah proyeksi, tantangan menjadi lebih besar karena biaya operasional dan kewajiban bunga pinjaman tetap berjalan. Di saat yang sama, biaya konstruksi dan komponen fiskal cenderung meningkat. Kondisi ini membuat sebagian BUJT menghadapi tekanan finansial, bahkan sebelum diskon tarif diterapkan. Oleh karena itu, kebijakan stimulus ekonomi pada tarif jalan tol harus ditempatkan dalam kerangka yang tetap menjaga keberlanjutan industri, bukan hanya sebagai upaya mendorong aktivitas ekonomi.
Risiko dan Tantangan BUJT
Perlu kehati-hatian ketika wacana diskon tarif berkembang menjadi kebijakan stimulus yang kontinu. Pemerintah sebaiknya menetapkan besaran diskon berdasarkan kajian yang berbasis data, mulai dari analisis waktu tempuh, pola distribusi arus, hingga keterkaitannya dengan mobilitas ekonomi. Kajian tersebut menjadi rujukan awal untuk menentukan rentang diskon yang adil, sementara keputusan akhir mengenai besaran dan kesiapan penerapan tetap berada pada masing-masing BUJT setelah mempertimbangkan kelayakan operasional dan finansial pada setiap ruas.
Pengusahaan jalan tol di Indonesia tidak dijalankan oleh negara secara langsung. Melalui skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), swasta mengambil porsi signifikan dalam investasi hak konsesi jalan tol. Jika diskon didorong oleh pemerintah, tetapi dilaksanakan secara sukarela oleh BUJT tanpa mekanisme kompensasi yang jelas, hal ini berpotensi menggerus kepastian berusaha. Dampaknya, investor akan menilai risiko birokrasi dan regulasi meningkat, bank menjadi lebih konservatif, hingga biaya modal pembangunan pun naik. Minat swasta dalam pengembangan tol dikhawatirkan menurun, padahal kebutuhan jaringan jalan tol masih tinggi.
Tanpa aturan yang jelas mengenai perlindungan risiko, kebijakan diskon berpotensi membuat beban finansial sepenuhnya ditanggung oleh BUJT. Kondisi ini dapat menimbulkan ketidakseimbangan antar-BUJT, karena perusahaan yang berstatus BUMN besar umumnya lebih mampu menanggung dampaknya dibandingkan BUJT swasta yang hanya mengelola beberapa ruas. Bagi ruas dengan volume lalu lintas yang masih rendah, kewajiban memberikan diskon bahkan dapat berubah menjadi beban tambahan yang tidak proporsional.
Kepastian Regulasi dan Kompensasi
Diskon tarif tol sebaiknya ditempatkan dalam kerangka regulasi agar tidak bergantung pada momentum musiman. Pemerintah dapat mempertimbangkan pengaturan pada tingkat regulasi yang lebih tinggi, misalnya melalui Peraturan Presiden, yang nantinya menjadi dasar pelaksanaan dalam regulasi sektoral transportasi yang juga sedang dibahas, yakni RUU Sistem Transportasi Nasional. Dengan pendekatan ini, besaran diskon pada periode liburan setiap tahun dapat ditetapkan secara jelas dan BUJT dapat memasukkannya ke dalam rencana anggaran tahunan dengan pasti. Kepastian ini juga membantu menghentikan diskursus birokrasi maupun spekulasi publik terkait ada atau tidaknya diskon pada tahun-tahun berikutnya.
Dalam regulasi tersebut, mekanisme kompensasi harus dijabarkan secara terukur. Jika negara meminta BUJT memberikan diskon demi kepentingan publik, maka sebaiknya negara juga dapat menyiapkan instrumen yang mengurangi tekanan jangka panjang terhadap BUJT yang hanya memiliki kewenangan bisnis hingga akhir konsesi. Sejumlah usulan dari Asosiasi Jalan Tol Indonesia (ATI) yang telah disampaikan kepada Kementerian PU, mulai dari penyesuaian Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2), pengaturan ulang pajak konstruksi dan pemeliharaan, hingga kompensasi terhadap kerusakan jalan akibat truk over dimension over loading (ODOL), dapat menjadi pertimbangan.
SPM jalan tol yang baru penting untuk memastikan layanan tetap berkualitas sehingga diskon tarif hanya bermakna jika standar layanan tetap terpenuhi. Agar tercapai, kompensasi bagi BUJT perlu disesuaikan dengan kewajiban menjaga layanan publik. Di sisi lain, pengalaman berbagai libur panjang menunjukkan bahwa keputusan masyarakat untuk bepergian tidak ditentukan oleh tarif karena dampak diskon terhadap kenaikan lalu lintas relatif kecil. Oleh karena itu, dalam penetapan ruas dan besaran, diskon lebih tepat diposisikan sebagai instrumen manajemen lalu lintas dibandingkan menjadi pemicu permintaan baru.
Jika tata kelola diskon tarif dibangun seimbang untuk tiap pihak, jalan tol tetap dapat menjadi sektor investasi yang menarik dan berkelanjutan. Pemerintah mendapat manfaat dari meningkatnya mobilitas dan pertumbuhan ekonomi, BUJT mendapatkan kepastian dalam mengelola kewajiban layanan dan finansial, sementara masyarakat merasakan manfaat nyata dari kualitas perjalanan yang lebih baik. Dengan demikian, diskon tarif tol menjadi bagian dari kerangka kebijakan yang memperkuat hubungan pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat, tanpa lagi menimbulkan dilema setiap tahunnya.