
Wakapolri Buka-bukaan Soal Kinerja Polri
JAKARTA – Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Wakapolri) Komjen Dedi Prasetyo memberikan pernyataan terbuka mengenai kinerja Polri dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, Selasa (18/11/2025). Dedi menyampaikan bahwa reformasi kepolisian, terutama di bidang budaya, menjadi PR utama bagi institusi tersebut.
“Reformasi yang awalnya struktural dan instrumental, sekarang menjadi PR kami. Kami merasakan dari semua saran, masukan, kritikan, dan harapan masyarakat adalah reformasi di bidang kultural,” ujar Dedi.
Peristiwa Penting yang Mengubah Perspektif Polri
Peristiwa aksi unjuk rasa pada akhir Agustus dan awal September 2025 menjadi titik balik penting bagi Polri. Meski evaluasi internal telah dilakukan sebelum peristiwa tersebut, Dedi menekankan bahwa proses reformasi tidak boleh berhenti.
“Reformasi Polri ini berjalan secara terus menerus hingga hari ini, sesuai dengan arahan dan perintah Kapolri, kita tidak boleh lelah untuk terus memperbaiki diri,” tambahnya.
Dedi menjelaskan bahwa saat ini Polri sedang fokus pada empat bidang utama, yaitu organisasi, operasional, pengawasan, dan pelayanan publik, sebagai fondasi pembenahan jangka panjang.
Catatan Merah Polri
Dalam rapat tersebut, Dedi juga membongkar kelemahan-kelemahan Polri yang tercatat dalam hasil riset bersama Litbang Kompas mengenai kinerja tiga fungsi pokok kepolisian, yaitu:
-
Pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat (harkamtibmas)
Menerima poin yang cukup bagus, menunjukkan respons positif dari masyarakat terkait tugas pokok Polri di bidang harkamtibmas. -
Penegakan hukum (gakkum)
Menunjukkan penilaian negatif, menjadi catatan merah yang harus diperbaiki. -
Pelayanan publik
Juga dinilai kurang optimal, menjadi salah satu isu utama yang memengaruhi citra Polri.
Dedi menyebutkan adanya 11 isu utama yang memengaruhi citra Polri, seperti kekerasan aparat, pungutan liar, penyalahgunaan wewenang, dan penggunaan kekuatan secara berlebihan. Evaluasi pengaduan masyarakat sejak Januari hingga semester I 2025 juga menguatkan hal tersebut.
Masalah Kualitas Pejabat Kepolisian
Dedi mengungkapkan bahwa hasil asesmen menunjukkan mayoritas kapolsek tidak memenuhi standar kinerja. Dari 4.340 kapolsek, 67 persen di antaranya under performance. Hal ini disebabkan oleh hampir 50 persen kapolsek yang diisi oleh perwira-perwira lulusan PAG (pendidikan ahli golongan).
Masalah serupa juga terjadi pada level kapolres dan direktur reserse kriminal umum (dirkrimum) di tingkat polda. Dedi menegaskan bahwa perubahan-perubahan ini harus segera dilakukan, termasuk perbaikan dari sisi meritokrasi dan pendidikan.
Respons Lambat dan Pengaruhnya pada Citra
Salah satu keluhan terbesar masyarakat adalah lambatnya respons layanan kepolisian, baik melalui Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) maupun layanan aduan 110. Dedi menyatakan bahwa standar quick response time PBB adalah di bawah 10 menit, namun saat ini masih di atas 10 menit.
Lambatnya respons polisi membuat sebagian warga lebih memilih menghubungi instansi lain, termasuk pemadam kebakaran (Damkar), ketika membutuhkan pertolongan cepat. Dedi menegaskan bahwa optimalisasi layanan aduan 110 menjadi prioritas utama dalam reformasi pelayanan publik.
Reformasi Polri dan Tantangan di Masa Depan
Sebelum pemaparan Dedi, Wakil Ketua Komisi III DPR Rano Alfath juga menekankan pentingnya reformasi kepolisian, berkaca dari maraknya aksi kriminalisasi dan tindak kekerasan oleh aparat. Dari data YLBHI dan LBH yang dirilis bertepatan HUT Bhayangkara 2025, terdapat 95 kasus kriminalisasi antara tahun 2019–2024.
Rano menguraikan bahwa kriminalisasi tersebut menjerat kelompok masyarakat dengan berbagai latar belakang, mulai dari petani, akademisi, mahasiswa, hingga jurnalis. Ini menunjukkan masih lemahnya kualitas sumber daya manusia Polri serta pola penanganan perkara di lapangan.
Oleh karena itu, pembentukan Komisi Percepatan Reformasi Polri oleh Presiden Prabowo Subianto menjadi momentum penting bagi Polri untuk mengevaluasi diri secara menyeluruh. Rano berharap kehadiran komisi tersebut bisa menjadi ukuran baru untuk menata ulang standar kerja, kultur organisasi, hingga manajemen penanganan perkara.