
Penjelasan Putusan Pengadilan Terhadap Ira Puspadewi
Putusan hukuman 4,5 tahun penjara yang diberikan kepada Ira Puspadewi, mantan Direktur Utama PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry (Persero), menjadi topik perbincangan publik. Keputusan ini menimbulkan berbagai narasi di masyarakat, termasuk isu kriminalisasi terhadap Ira. Namun, hakim menegaskan bahwa putusan tersebut didasarkan pada fakta dan bukti yang sah.
Hakim menyatakan bahwa Ira tidak menikmati uang hasil korupsi, sehingga rekening yang diblokir oleh jaksa penuntut umum (JPU) telah diperintahkan untuk segera dibuka dan dikembalikan ke pemiliknya. Meskipun Ira dan timnya telah menciptakan prestasi dalam mengubah PT ASDP menjadi BUMN yang lebih baik, mereka tetap dihukum karena tindakan mereka memperkaya pihak lain.
Kasus Korupsi dalam Akuisisi PT Jembatan Nusantara
Dalam kasus korupsi yang terjadi selama proses kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN) pada periode 2019–2022, Ira disebut memperkaya pemilik PT JN, Adjie, sebesar Rp 1,25 triliun. Tindakan ini dilakukan bersama dengan dua terdakwa lainnya, yaitu Muhammad Yusuf Hadi dan Harry Muhammad Adhi Caksono. Ketiganya masing-masing dihukum 4 tahun penjara dengan denda Rp 250 juta subsider 3 bulan penjara.
Mereka dianggap melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1.
Alasan Hakim Menjatuhkan Vonis
Pada sidang pembacaan vonis, majelis hakim menjelaskan alasan mereka memberikan hukuman kepada para terdakwa. Meskipun Ira dan kawan-kawannya memiliki prestasi dalam mengubah PT ASDP menjadi BUMN yang lebih baik, hukuman mereka lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut Ira dipenjara selama 8,5 tahun.
Hakim menilai bahwa perbuatan para terdakwa bukanlah korupsi murni, melainkan kelalaian berat tanpa kehati-hatian dan itikad baik dalam prosedur dan tata kelola aksi korporasi PT ASDP. Mereka juga tidak menerima sepeser pun uang hasil korupsi dalam kasus ini. Selain itu, tidak ada hubungan darah, kerabat, atau partner bisnis di luar kepentingan PT ASDP dengan Adjie.
Pandangan Berbeda dari Satu Hakim
Keputusan untuk memenjarakan Ira dkk tidak sepenuhnya bulat. Ada satu hakim yang memiliki pandangan berbeda, yaitu ketua majelis hakim Sunoto. Ia meyakini bahwa perbuatan para terdakwa merupakan akibat dari keputusan bisnis yang dilindungi oleh business judgement rule. Artinya, mereka tidak bisa dipidanakan meski keputusan bisnis mereka membawa dampak buruk bagi perusahaan milik negara.
Sunoto menegaskan bahwa perbuatan bisnis para terdakwa tidak memenuhi unsur pidana karena tidak ditemukan iktikad jahat dan maksud untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Ia meyakini bahwa vonis yang seharusnya diterima oleh para terdakwa adalah vonis lepas atau ontslag van alle recht vervolging.
Narasi Kriminalisasi
Sebelum vonis dibacakan, hakim juga menyampaikan pendapatnya tentang maraknya narasi bahwa Ira Puspadewi menjadi korban kriminalisasi dari penegak hukum. Hakim menegaskan bahwa sidang tidak mengadili opini dan narasi di media sosial. Yang dipertimbangkan dalam sidang adalah fakta berdasarkan alat dan barang bukti yang sah.
Majelis hakim menilai bahwa narasi kriminalisasi yang digaungkan ini justru dianggap sebagai upaya kubu terdakwa untuk mengaburkan fakta. Hakim Ana menegaskan bahwa pembelaan para terdakwa yang menyatakan dirinya korban kriminalisasi atau korban framing media sosial adalah pembelaan yang tidak menyentuh substansi perkara sehingga tidak beralasan hukum dan harus ditolak seluruhnya.
Penegasan dari KPK
Setelah vonis Ira ramai dibicarakan publik, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun buka suara. Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menyinggung soal pernyataan hakim yang meyakini kalau akuisisi PT JN oleh PT ASDP telah menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 1,25 triliun.
Budi menjelaskan bahwa kerugian negara ini berasal dari perbuatan melawan hukum pada proses akuisisi. Para terdakwa disebut melakukan pengkondisian pada proses dan hasil penilaian Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) yang melakukan valuasi kapal dan valuasi perusahaan secara keseluruhan.
Pengkondisian kapal tersebut terjadi atas sepengetahuan Direksi PT ASDP, sementara nilai valuasi saham/perusahaan, KJPP menyesuaikan dengan ekspektasi Direksi ASDP, termasuk penentuan Discount on Lack of Marketability (DLOM) yang lebih rendah dari opsi yang tersedia.
Selain itu, kondisi keuangan PT JN sudah menunjukkan tren menurun saat proses akuisisi berlangsung. Hal ini terlihat dari rendahnya dan semakin menurunnya rasio profitabilitas atau Return on Assets, serta kemampuan penyelesaian kewajiban lancar atau rasio likuiditas, yang sering disebut dengan istilah current ratio.
Kondisi aset PT JN sebelum akuisisi dilakukan juga menjadi sorotan. Budi mengatakan bahwa lebih dari 95 persen nilai aset merupakan kapal berusia di atas 30 tahun yang nilai bukunya sudah dinaikkan sehingga overstated melalui skema akuntansi kapitalisasi biaya pemeliharaan, revaluasi nilai kapal, dan transaksi pembelian kapal antar-afiliasi tanpa transaksi pembayaran riil.
Sementara, saat akuisisi berlangsung PT JN juga masih memiliki kewajiban yang belum diselesaikan. Kewajiban ini berupa utang bank sebesar Rp 580 miliar.
Budi mengatakan bahwa, selain berdasarkan analisis laporan dan data keuangan PT JN, masalah keuangan yang dihadapi PT JN tersebut juga diketahui dalam percakapan antara Manajer Akuntansi dan Keuangan PT JN dengan atasannya.
Proses dan hasil due diligence yang tidak obyektif tersebut tidak hanya berdampak pada harga transaksi yang kemahalan, justru pertimbangan bisnis akuisisi juga turut menjadi tanda tanya. Budi juga mengatakan bahwa, berdasarkan data-data aktual, keputusan investasi ini secara realistis tidak layak, karena sama saja seperti mengejar keuntungan sebesar 4,99 persen, dengan menggunakan modal yang tingkat bunganya sebesar 11,11 persen.