Suntikan Rp23,67 Triliun Danatara: Garuda Indonesia Menuju Laba atau Tergelincir dalam Kerugian

Erlita Irmania
0

Penambahan Modal Rp23,67 Triliun: Kesempatan atau Tantangan bagi Garuda Indonesia?

PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) kembali menjadi sorotan setelah menerima suntikan modal besar-besaran sebesar Rp23,67 triliun dari PT Danantara Asset Management (Persero). Namun di balik dana segar ini, pertanyaan besar mengemuka: apakah ini akhir dari perjalanan panjang kerugian maskapai pelat merah, atau justru awal dari ketergantungan baru terhadap dana negara?

Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) yang digelar pada 12 November 2025 merestui penambahan modal tanpa hak memesan efek terlebih dahulu (PMTHMETD) atau private placement senilai Rp23,67 triliun. Skema ini terdiri dari setoran tunai Rp17,02 triliun dan konversi pinjaman pemegang saham (Shareholder Loan) senilai Rp6,65 triliun.

Saham GIAA merespons positif dengan menguat 4,85% atau 5 poin ke level Rp108 per lembar pada perdagangan pasca-RUPSLB. Sepanjang tahun berjalan hingga November 2025, saham GIAA telah melejit 92,73%—performa yang mengesankan untuk emiten yang masih berstatus Full Call Auction (FCA) atau pemantauan khusus bursa.

Namun di balik euforia pasar, realitas operasional Garuda masih jauh dari kata sehat.

Kinerja Q3 2025: Pendapatan Turun, Kerugian Membengkak

Berdasarkan laporan keuangan yang dipublikasikan melalui Bursa Efek Indonesia (BEI), Garuda Indonesia mencatatkan rugi bersih US$182,54 juta atau setara Rp3,04 triliun hingga kuartal III 2025—naik 39,3% secara year-on-year (YoY) dibandingkan kerugian US$131,22 juta pada periode sama tahun lalu.

Yang lebih mengkhawatirkan, peningkatan kerugian ini terjadi di tengah penurunan pendapatan. Total pendapatan usaha Garuda hingga September 2025 tercatat US$2,39 miliar (Rp39,76 triliun dengan asumsi kurs Rp16.640/US$), turun 6,64% dari US$2,56 miliar pada kuartal III 2024.

Breakdown Pendapatan per Segmen:

Pada kuartal III tahun 2025, total pendapatan Garuda Indonesia tercatat sebesar US$2.385,30 juta, mengalami penurunan sebesar 6,64% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai US$2.560 juta. Penurunan ini terutama disebabkan oleh melemahnya segmen penerbangan berjadwal, yang turun 8,46% dari US$2.010 juta pada Q3 2024 menjadi US$1.840 juta pada Q3 2025.

Sementara itu, segmen penerbangan tidak berjadwal justru mencatat pertumbuhan positif sebesar 2,87%, naik dari US$291,15 juta menjadi US$299,50 juta. Pendapatan lainnya juga mengalami penurunan sebesar 5,04%, dari US$258,85 juta menjadi US$245,80 juta. Data ini menunjukkan bahwa meskipun ada pertumbuhan di segmen tertentu, tekanan pada lini utama bisnis masih menjadi tantangan bagi perseroan.

Segmen penerbangan berjadwal—yang menjadi tulang punggung bisnis Garuda—mengalami kontraksi signifikan. Penurunan ini terjadi meski jumlah penumpang secara agregat masih tumbuh positif 24% YoY hingga 17,73 juta penumpang sepanjang Januari-September 2025.

"Paradoks ini menunjukkan bahwa Garuda menghadapi tekanan yield per penumpang," jelas Liza Camelia Suryanata, Head of Equity Research Kiwoom Sekuritas Indonesia. "Load factor tinggi tidak otomatis berarti pendapatan optimal jika harga tiket tertekan oleh kompetisi ketat dari LCC (Low Cost Carrier) dan maskapai regional."

Menariknya, di tengah penurunan pendapatan, Garuda berhasil menekan beban usaha dari US$2,38 miliar menjadi US$2,29 miliar (-3,78% YoY). Namun efisiensi ini belum cukup untuk menutupi penurunan revenue, terlebih dengan beban keuangan (bunga utang) yang masih tinggi di angka US$372,8 juta per kuartal III 2025.

Neraca yang Rapuh: Ekuitas Negatif US$1,5 Miliar

Jika pendapatan adalah urat nadi perusahaan, maka neraca adalah fondasi. Dan fondasi Garuda Indonesia saat ini retak parah.

Per 30 September 2025, total aset Garuda tercatat US$6,75 miliar (Rp112,32 triliun), sementara liabilitas mencapai US$8,2 miliar (Rp136,45 triliun). Artinya, ekuitas Garuda negatif sekitar US$1,5 miliar—kondisi yang dalam istilah akuntansi disebut "bangkrut secara teknis" karena utang melebihi aset.

"Secara hukum perusahaan masih berjalan, tapi secara akuntansi ini insolvency," tegas analis senior dari Samuel Sekuritas Indonesia yang enggan disebutkan namanya. "Tanpa intervensi pemegang saham, perusahaan dengan ekuitas negatif tidak akan mendapat akses pendanaan dari perbankan atau pasar modal."

Liabilitas US$8,2 miliar ini terdiri dari: * US$1,2 miliar liabilitas jangka pendek (harus dibayar dalam 12 bulan) * US$7 miliar liabilitas jangka panjang (sewa pesawat, obligasi, pinjaman bank)

Beban sewa pesawat menjadi "monster" tersembunyi dalam struktur biaya Garuda. Sebagian besar armada Garuda tidak dimiliki penuh, melainkan disewa melalui skema operating lease dan finance lease dengan pembayaran dalam denominasi dolar AS. Setiap kali rupiah melemah, beban sewa otomatis membengkak—fenomena yang disebut "currency mismatch" karena pendapatan mayoritas dalam rupiah sementara biaya dalam dolar.

Suntikan Modal Rp23,67 Triliun: Anatomi Penyelamatan

Suntikan modal Danantara senilai Rp23,67 triliun bukan sekadar "transfer uang." Ini adalah restrukturisasi komprehensif yang mengubah struktur permodalan dan operasional Garuda secara fundamental.

Komposisi Suntikan Modal:

  • Setoran Tunai Rp17,02 Triliun
  • Berasal dari Danantara Asset Management
  • Langsung masuk sebagai ekuitas baru
  • Dilusi kepemilikan publik dari 27,47% menjadi 6,17%
  • Konversi Pinjaman Rp6,65 Triliun (US$405 juta)
  • Shareholder Loan (SHL) yang diberikan Danantara Juni 2025
  • Diubah dari utang menjadi ekuitas
  • Mengurangi beban bunga sekitar US$20-25 juta per tahun

Alokasi Penggunaan Dana:

Total alokasi dana sebesar Rp23,6 triliun dirancang untuk mendukung keberlanjutan operasional Garuda Indonesia Group. Dari jumlah tersebut, Rp8,7 triliun atau sekitar 37% dialokasikan untuk modal kerja Garuda Indonesia, yang mencakup kebutuhan pemeliharaan dan perawatan pesawat (MRO) serta biaya operasional lainnya.

Sementara itu, Citilink sebagai anak usaha menerima alokasi terbesar, yakni Rp11,2 triliun atau 47% dari total dana, yang difokuskan untuk penguatan likuiditas. Sisanya sebesar Rp3,7 triliun atau 16% digunakan untuk pelunasan utang bahan bakar Citilink kepada Pertamina, yang berasal dari periode 2019 hingga 2021. Struktur alokasi ini mencerminkan prioritas pemulihan operasional dan stabilisasi keuangan pasca restrukturisasi.

"Yang menarik, 63% dana justru dialokasikan untuk Citilink, bukan Garuda mainline," ujar Muhammad Wafi, Head of Research Korea Investment & Sekuritas Indonesia. "Ini menunjukkan strategi Danantara: memperkuat segmen LCC yang lebih profitable sambil melakukan transformasi bertahap di Garuda."

Kalkulasi Dampak: Dari Bangkrut Teknis Menuju Ekuitas Positif

Mari kita hitung dampak riil suntikan modal ini terhadap neraca Garuda menggunakan data pro-forma (proyeksi pasca-transaksi):

Sebelum Suntikan Modal (30 September 2025): * Total Aset: US$6,75 miliar * Total Liabilitas: US$8,2 miliar * Ekuitas: -US$1,45 miliar (NEGATIF)

Setelah Suntikan Modal (proyeksi): * Setoran tunai Rp17,02 T = US$1,03 miliar (kurs Rp16.500) * Konversi SHL Rp6,65 T = US$403 juta * Total tambahan ekuitas: US$1,433 miliar

Neraca Pro-forma: * Total Aset: US$6,75 M + US$1,03 M = US$7,78 miliar * Total Liabilitas: US$8,2 M - US$403 juta = US$7,797 miliar * Ekuitas: US$7,78 M - US$7,797 M -US$17 juta (masih negatif tipis)

Tunggu dulu! Angka ini tidak sesuai dengan proyeksi Kiwoom Sekuritas yang menyebut ekuitas akan positif US$350 juta. Apa yang terlewat?

Ternyata, Danantara juga akan melakukan write-off atau restrukturisasi utang tambahan yang belum dipublikasikan detailnya. Liza dari Kiwoom menjelaskan: "Ada kemungkinan sebagian utang kepada kreditur tertentu akan direstrukturisasi atau bahkan di-haircut (dipotong). Ini bukan hal aneh dalam restrukturisasi BUMN."

Dengan asumsi write-off US$350-400 juta, maka: * Liabilitas turun menjadi: US$7,4 miliar * Ekuitas menjadi: US$7,78 M - US$7,4 M = US$380 juta (POSITIF)

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
3/related/default